Monday, December 19, 2011

Chronicles Of Ancient Darkness : Ghost Hunter

source:kutukutubuku,com
ISBN13 : 9786028590235
Penulis : Michelle Paver
Penerbit : Matahati
Tanggal terbit : April 2011
Jumlah Halaman : 350
Jenis Cover : Soft Cover
Kategori : Fantasi
Text Bahasa : Indonesia




Ghost Hunter merupakan buku ke-6 dari serial Chronicle Of Ancient Darkness karangan Michelle Paver. Serial ini dimulai dengan buku pertama yaitu Wolf Brother, dilanjutkan dengan Spirit Walker, lalu Soul Eater ke Outcast, diteruskan oleh Oathbreaker dan ditutup dengan Ghost Hunter.

Melalui serial ini, Paver membawa kita ke 6000 tahun lalu di masa jaman batu. Kala itu dunia masih berupa satu daratan besar, manusia hidup dalam klan, membuat peralatan dari batu dan tulang serta percaya pada kekuatan dewa dan roh-roh pelindung alam. Satu diantara klan-klan itu adalah klan Serigala. Klan yang terkenal dengan kemisteriusannya namun kini telah punah. Ya...1 klan itu telah lenyap kecuali Torak dan ayahnya.

Buku pertama (Wolf Brother) dibuka dengan pertarungan Torak dan ayahnya (Fa) melawan setan berwujud beruang. Sebelum meninggal, Fa berpesan agar Torak mencari gunung Roh Dunia (yang ada dalam legenda) untuk mengalahkan beruang setan tersebut. Dalam perjalanannya, Torak bersahabat dengan seekor serigala yang juga sebatang kara. Satu keistimewaan Torak dan Serigala adalah mereka bisa berkomunikasi dan saling mengerti perasaan satu sama lain.
Garis takdir juga membawa Torak berkenalan dengan klan Gagak dan menjalin persahabatan dengan Fin Kedinn, kepala suku klan Gagak dan Renn, keponakan Fin Kedinn. Dari klan Gagak-lah Torak mengetahui situasi dunia saat itu setelah selama ini hidup tersembunyi bersama Fa.

Kala itu, dunia dikuasai oleh para Pemangsa Arwah yang merupakan sekelompok dukun klan yang tergoda pada kekuasaan dan menggunakan kekuatan mereka untuk kejahatan. Beruang setan pun merupakan salah satu perbuatan mereka. Karenanya, ketika misi Torak untuk membasmi beruang telah usai, dia memulai misi lain yaitu : mencari dan memusnahkan para Pemangsa Arwah.

Nanti, pada buku-buku berikutnya, juga akan terungkap lebih banyak tentang latar belakang Torak, Fa, Fin Kedinn, Renn, para Pemangsa Arwah juga alasan kenapa Fa menyembunyikan Torak selama 12 tahun pertama kehidupannya. Ada banyak twist dan kejutan yang diberikan Paver sepanjang serial ini. Kejutan yang tak terduga dan tak disangka(ya namanya juga kejutan sih..hehehe xp), dan membuat cerita ini makin seru dan bikin penasaran.

Dan jangan melupakan tokoh-tokoh yang hanya muncul selintas di awal seri ini. Karena, sama seperti di Harry Potter, tokoh yang hanya muncul sekilas dan gak penting di buku pertama, ternyata jadi tokoh kunci nantinya. Membuat Anda akan penasaran untuk rerun buku pertama, demi menyegarkan ingatan akan si tokoh-yang-munculnya-sekilas itu.

Lalu bagaimana dengan buku ke-6 sekaligus pamungkas dalam serial ini?

Pada buku ke-6, Torak sudah berumur 18 tahun. Sudah banyak pengkhianatan dan kesedihan yang dia alami. Hubungannya dengan Renn dan Serigala pun sudah mengalami banyak pasang surut hingga menjadi seintens sekarang. Dan sudah 4 Pemangsa Arwah yang dikalahkannya. Kini Torak harus berhadapan dengan Eostra, Pemangsa Arwah yang terakhir dan terkuat.

Serigala juga sudah dewasa dan membentuk kawanan sendiri dengan pasangannya (Bulu Gelap). Namun Eostra menghancurkan keluarga Serigala dan menculik 1 anaknya. Hal yang memaksa Torak untuk segera mencari Eostra. Renn, yang mendapat penglihatan tentang kematian Torak, memutuskan untuk menemani perjalanan Torak walau pun harus meninggalkan klan dan tugasnya sebagai calon dukun klan Gagak.

Bagaimanakah akhir serial ini? Akankah Torak menemui ajalnya sesuai dengan ramalan Renn? Lalu Serigala, bisakah dia membangun kawanannya lagi? Dan yang terpenting, benarkah Eostra adalah Pemangsa Arwah terakhir?
Ah tentu saja itu adalah hal yang harus Anda temukan sendiri ;D.

source : here
Saya pertama kali membaca serial ini di tahun 2006 ketika Matahati menerbitkan buku pertamanya (Wolf's Brother) dan telah jatuh cinta sejak saat itu.
Saya suka dengan kepiawaian Paver menciptakan setting 6000 tahun lalu yang terasa sangat realistis. Saya juga suka dengan ketilitian Paver menggambarkan detil-detil cara hidup Torak dan rekan-rekannya di masa itu. Saya juga suka pada konsistennya Paver menjaga plot cerita tetap menegangkan hingga akhir. Dia bisa menyampaikan dengan baik aura "dark" dan mistis di masa itu kepada saya yang hidup di jaman modern ini.

Namun yang paling saya suka adalah cara Paver menceritakan kisah ini dari sudut pandang Torak, Renn dan Serigala. Terutama dari sudut pandang Serigala.
Paver mengajak kita menyelami jalan pikiran Serigala. Dia membuat kita memahami keputusan Serigala sewaktu meninggalkan Torak untuk bergabung dengan kawanannya, juga turut bersedih ketika Serigala harus kehilangan seluruh keluarganya.
Ah...Paver benar-benar berhasil menyampaikan perasaan Serigala kepada para pembacanya.

Tambahan satu point plus di Ghost Hunter yang menjadikan buku ke-6 ini sebagai favorit saya, yaitu : endingnya.
Saya suka pada cara Paver menutup serial ini. Ending yang jelas, tidak menggantung, namun masih memberi saya ruang untuk mengkhayalkan sendiri kelanjutan kisahnya. Syukurlah gak ada bab "epilog" yang biasa ada di akhir sebuah saga dan selalu saya anggap menyebalkan karena membatasi imajinasi.

Menyangkut terjemahan; karena penasaran, saya juga membaca serial ini dalam bahasa aslinya (ps : saya selalu melakukan ini pada novel-novel terjemahan yang saya sukai).
Dan saya berkesimpulan, Matahati really did a great job on translating this story.
Setting yang mencekam, ketakutan dan kemarahan Torak, kecemasan Renn serta keluguan Serigala yang tergambar di bahasa aslinya, tergambar dengan baik juga di terjemahan versi Matahati.
Saya bahkan lebih menyukai beberapa kata dalam versi terjemahan, seperti "tall tailles" (panggilan Serigala untuk Torak) yang diterjemahkan menjadi tinggi takberekor atau "Darkfur" yang diterjemahkan menjadi Bulu Gelap.
source: amazon.co.uk

Mengenai covernya, uhm...masih bingung nih :D. Saya sih lebih suka cover warna ungu seperti aslinya, tapi saya gak suka dengan cave painting yang ada di cover ini.
Sedangkan untuk cover versi Matahati, saya kurang suka warna hijaunya, tapi saya suka melihat lukisan burung hantu yang tercetak besar dan tampak mengintimidasi itu. Cocok dengan image Eostra yang memang mengintimidasi sebagai dukun klan burung hantu. Seandainya saja Matahati bisa memadukan kedua versi cover ini, pasti akan lebih bagus. (Yeah...you wish, Wi. Hehehe... ;p)

Secara keseluruhan, saya memberi rating 5 bintang untuk serial Chronicles of Ancient Darkness. Kepiawaian Paver dalam merangkai plot yang rapi hingga akhir cerita jelas merupakan sebuah nilai plus. 
Lalu penggambaran setting yang detail serta pemahaman yang sangat baik tentang Serigala menunjukkan bahwa Paver melakukan riset dengan (sangat) serius untuk novelnya ini. Dan sebuah karya yang dikerjakan dengan serius, sangat layak dihargai nilai sempurna. :)

Sudah banyak terbitan Matahati yang bagus sepanjang 2011 ini, sudah banyak pula yang saya baca. Tapi bagi saya, Ghost Hunter ini tetap yang terbaik karena telah menjawab rasa penasaran saya selama 5 tahun belakangan :D.

Saturday, December 17, 2011

Kedai 1001 Mimpi


Penulis: Valiant Budi
Penerbit: Gagasmedia
ISBN :  9789797804978
Tgl Penerbitan : 2011-05-11
Halaman : 456
Ukuran : 130x200x0 mm


Selamat datang di negeri 1001 dongeng. Berharaplah ini memang sekedar dongeng.
@Vabyo
Nun jauh di Bandung sana, hiduplah seorang pria bernama Valiant Budi Yogi aka Vabyo. Sama seperti jutaan orang lain, Vabyo juga punya mimpi tinggal di luar negeri. Bedanya negara impian Vabyo bukanlah yang favorit semacam Eropa ato Amerika. Vabyo justru bermimpi tinggal di kawasan Timur Tengah ato Afrika.
Demi mengejar mimpi ini, Vabyo rela meninggalkan karirnya di Indonesia untuk menjadi barista di Dammam, sebuah kota di Kingdom of Saudi Arabia (KSA).

Namun kenyataan memang jarang yang seindah mimpi.
Pertama, tentu saja Vabyo harus bergulat dengan cuaca yang panasnya di luar perkiraan (nyampe 56 derajat celcius, bo!). Cuaca panas ini otomatis berdampak pada air yang juga panas, menyebabkan insiden dubur lecet (baca aja sendiri untuk lengkapnya ya).

Kedua, Vabyo mesti berdamai dengan shift kerja gila-gilaan dan setiap shift diisi dengan kerjaan yang naujubile capeknyaaa. Ternyata menjadi barista itu bukan hanya duduk-duduk manis menunggu customer dan membuatkan kopi ketika ada yang mengorder. Ternyata menjadi barista itu sebuah pekerjaan yang melibatkan terbuangnya tenaga, hati dan juga nurani. Terkesan lebay? Gak kok. Baca aja buku ini dan Anda akan mengerti maksud saya.

Tapi yang menurut saya paling berat di antara semuanya adalah, Vabyo harus bisa bertahan menghadapi kelakuan warga Dammam yang "ajaib". Mulai dari rekan kerja hingga orang asing yang ditemui di jalan.
Simak pengalaman Vabyo waktu sakit dan berobat ke dokter yang aneh tapi nyata. Atau waktu dia dikejar-kejar segerombolan pria Arab untuk di..ehm..."lecehkan". Juga kekekiannya menghadapi pelanggan-pelanggan ajaib yang arogan, sok tahu, linglung, bahkan haram. Hah? Haram? Yup...beneran haram. Makanya baca sendiri dong bukunya ;)
"Kita ini konon pahlawan devisa. Tapi kalau mati ya sudah-dianggap binatang saja."
-Yuti-
Buku ini juga mengungkap fakta-fakta "unik" tentang negara itu. Seperti hak dan kebebasan wanita yang sangat dibatasi (nyetir mobil aja gak boleh lho), kode-kode kencan yang dilancarkan para baba, saudi champagne yang dari namanya saja jelas-jelas beralkohol tapi masih masuk kategori halal, serta yang paling menarik tentang kedekatan hubungan antar para baba di KSA dan daerah Cipanas di Puncak. Hayoo...ada yang tahu?;)

Namun Kedai 1001 Mimpi tidak melulu bercerita tentang Vabyo. Ikuti perjalanan Yuti sang TKI yang sukses mengubah nasib dari yang tadinya mengepel lantai kini menyisir lantai mall berbusana Prada. Simak kisah Mas Blitar, sang supir asli (well...jelaslah) Blitar yang merangkap sebagai pemuas nafsu majikan-majikannya. Juga Bambang, seorang gay yang merasa ketemu dunianya di Dammam. Dan jangan lupakan Eldo, si floor supervisor di sebuah hotel yang merangkap sebagai penari tiang. Baca dan tersenyum kecutlah bersama mereka.
Dan buku ini juga tidak hanya mengungkap sisi buruk KSA. Ada sisi baik dan kebaikan warganya yang juga diceritakan Vabyo. Namun demi untuk mencegah spoiler, saya biarkan anda menemukannya sendiri di buku.
“Tapi satu pelajaran yang gue dapet. Kita bisa mencari iman di mana saja, termasuk di negara yang sering ‘dibilang kafir’ sekalipun.”
Saya sudah mengikuti perjalanan @Vabyo di KSA sejak dia rajin memposting serial tweetnya dengan tagar "Arabian Underkampret" (yang lalu diubah jadi Arabian Undercover. Sayangnya saya sudah nyaman dengan istilah Underkampret. Hehehe :p). Rutinitas pagi saya kala itu membaca timeline @Vabyo sepanjang jalan menuju kantor.
Sayang, sekembalinya ke tanah air, @Vabyo semakin jarang membagi cerita Arabian Underkampret-nya. Awalnya saya berpikir mungkin dikarenakan kesibukannya mengurus Warung Ngebul.
Tapi ternyata, @Vabyo bilang di twitter bahwa pengalaman-pengalaman Arabia Underkampret-nya akan dibukukan, makanya gak bisa dishare lewat twitter lagi. Horeeee....\(^o^)/

Karenanya gak heran waktu buku ini di-launching, saya dengan bersemangat langsung membeli.
Dari segi fisik, saya suka sama sampulnya yang lucu dan "kena" banget dengan isi buku. Ilustrasi secangkir kopi yang ada di tiap akhir bab juga mampu membuat saya mendadak ngidam kopi. Ada beberapa typo namun bagi saya sih bisa dimaafkan.
"Saya datang buat mempertebal iman, bukan jadi dalang setan."
-Mas Blitar-
Mengenai isi buku, sebenarnya kebanyakan cerita mirip dengan yang dulu pernah di-tweetkan @Vabyo. Jadi yah sebagian besar ceritanya sudah saya baca. Tapi saya tetap senang kok. Karena akhirnya saya punya memento untuk serial twit Arabian Underkampret-nya Vabyo itu. Lumayanlah sebagai salah satu referensi saya tentang KSA (psstt...diam-diam saya sama kayak Vabyo yang punya ketertarikan khusus pada Timur Tengah dan Afrika).

Kalo ada yang pernah membaca 2 buku Vabyo sebelumnya, pasti heran dengan gaya bahasanya yang lain banget di Kedai 1001 Mimpi. Tapi gaya bahasa Vabyo tetap enak dibaca. Dan jangan khawatir, walau pun buku ini sebenarnya beraroma susah, namun Vabyo membalutnya dengan gaya komedi. Dia seolah ingin mengajak kita menertawakan hidup sepahit apapun itu, karena memang "Ada Lelucon Di Setiap Duka".
Kamu tidak perhatikan, banyak orang MATI karena terlalu BANYAK TAU?!
-sebuah comment di sebuah blog-
Dari info yang saya baca di timeline @Vabyolous (fanbasenya Vabyo di twitter) ternyata drama bukan hanya terjadi di dalam buku ini. Ada banyak kisah di balik layar penerbitan Kedai 1001 Mimpi. Vabyo mendapatkan banyak ancaman dan beberapa kali dicegat orang-orang asing, bahkan sampai terjadi pemukulan. Pelakunya jelas mereka yang berpikiran sempit dan menganggap Vabyo mencemarkan Islam dengan mengungkap fakta-fakta tentang KSA. Padahal Vabyo hanya ingin membuka mata kita tentang fakta yang sebenarnya sudah diketahui banyak orang namun sering dilupakan yaitu : Arab memang negara Islam tapi Islam bukanlah Arab.

Rating 4 bintang saya berikan untuk Vabyo dan segala pengalaman uniknya di Dammam sana.
Kenapa gak 5 bintang? Karena saya menangkap ada beberapa kekurangan. Ada hal-hal yang gak tuntas diceritakan Vabyo seperti alasan kearoganan customer dari Riyadh atau apakah Vabyo pada akhirnya mengiyakan tawaran Eldo. Jadi rasanya seolah-olah Vabyo "lost track" di tengah-tengah menulis dan pindah ke topik lain.
Walau begitu saya sangat salut pada keberanian Vabyo untuk mengungkap fakta kelam KSA walau pun mendapat ancaman. Maju terus dalam mengungkap fakta, bro. Semoga makin sukses dan tetap baik-baik saja ya.

Quote of the book :
"Di negara miskin saya itu, saya lebih banyak tersenyum. Tak terbeli dengan ribuan riyal. Lagi pula, semua kebusukan negara saya, Indonesia, ada di negara lain, kok. Tapi keindahan Indonesia belum tentu dimiliki negara lain."
-Vabyo-

Monday, November 28, 2011

Nasional.Is.Me

Data Buku:
Judul: Nasional.Is.Me
Penulis: Pandji Pragiwaksono
Penerbit: Bentang Pustaka
Penyunting: Ikhdah Henny
Pemeriksa Aksara: Nunung
Tebal: xiv + 330 hlm
Harga: Rp54.000
Rilis: Juli 2011 (Cet. I)
ISBN: 9786028811538
 


Selain untuk tugas sekolah/kampus dulu, saya hanya 1x pernah mereview buku non fiksi. Bukannya gak suka sama buku kayak begini, tapi masalahnya saya memang gak tau bagaimana membuat review yang benar untuk kategori non fiksi.
Namun ada sesuatu di buku ini yang menggerakkan saya untuk mencoba membuat review. Sesuatu yang akan saya sebutkan di akhir postingan ini.

Saya selalu berpendapat semua rakyat Indonesia cinta kok kepada tanah air-nya ini. Sayang, kebobrokan dan beratnya hidup yang dijalani di negeri tercinta ini membuat  sebagian besar dari mereka menjadi pahit dan pesimis pada negeri ini. Saking banyaknya yang pesimis, bila masih ada yang optimis dengan negara ini justru dianggap anomali dan diajukan pertanyaan seperti : "Apa sih yang bikin loe masih optimis sama negara ini?"

Buku ini adalah jawaban seorang Pandji terhadap pertanyaan tersebut.
Menurut Pandji, semua tindakan atau keputusan yang kita pilih berdasar pada wawasan kita. We are what we know. Dan seandainya mereka yang pesimis itu tahu tentang Indonesia seperti yang diketahui Pandji, maka mereka tentu akan sama optimisnya dengan dia. Pandji menulis buku ini dengan harapan bahwa lebih banyak lagi orang yang tahu tentang Indonesia. Karena buku ini memang untuk Indonesia.
"Cinta adalah hal terakhir yang mutlak kita bisa berikan kepada anak kita, ketika kita tidak bisa, tidak kuasa memberikan apa pun lagi"
(hal 151)
Wawasan tentu saja didapat dari pengalaman dan pembelajaran.
Untuk itulah pada bab "Dari Sabang Sampai Merauke", Pandji berbagi wawasannya tentang Indonesia. Dia berpendapat : tidak boleh kita membenci sesuatu yang tidak kita pahami. Tapi lucunya, kebanyakan dari mereka yang pesimis tentang Indonesia malah belum pernah melihat Indonesia secara luas. Kebanyakan mereka hanya pernah ke sekitaran pulau Jawa atau paling jauhnya: Bali. Satu kalimat Pandji yang sangat mengena :"Bagaimana mereka bisa bilang benci Indonesia kalau yang mereka tahu tentang Indonesia hanyalah dari apa yang mereka baca di media dan tonton di TV." (hal 88)
Melalui bab ini Pandji menunjukkan dengan nyata bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta, bukan juga hanya Jawa dan Bali. Bahwa seluruh daerah di Indonesia bisa kita banggakan sama besarnya seperti kita membanggakan Bali.

Bab ini adalah favorit saya.
Saya juga cinta dan bangga banget sama negara ini. Dan saya selalu ingin membagi sisi lain Indonesia kepada banyak orang. Karenanya senang sekali melihat seorang dengan pengaruh besar seperti Pandji (follower twitternya lumayan banyak lho) melakukan sesuatu yang belum mampu saya lakukan. Mudah-mudahan saja, sehabis membaca buku ini makin banyak rakyat Indonesia yang lebih tertarik menjelajahi negaranya ketimbang menghabiskan uang untuk berburu diskon di negara tetangga.
Dan bab ini juga semakin memantapkan niat saya untuk melihat Indonesia secara langsung dari ujung ke ujung. So far sih baru sampai Maluku. Doakan semoga bisa sampai Papua ya \(^o^)/
"Dengan segala potensi yang dimiliki bangsa ini, siapa yang tidak optimis dengan Indonesia? Wong orang luar negeri saja optimis kok dengan Indonesia."
(hal 204)
Pada bab "Dari Sebuah Krisis Sampai Pada Perasaan Optimis" Pandji menyinggung tentang ekonomi Indonesia. Bab ini berangkat dari sebuah pertanyaan yang juga dipertanyakan banyak orang :"Apa yang salah dengan perekonomian Indonesia?" Untuk menjawab pertanyaan ini, Pandji menghadirkan para pakar di bidang ekonomi, yang memberi tahu letak kekurangan sekaligus kekuatan ekonomi Indonesia. Suatu bahasan yang menarik dan mudah dicerna.

Bagian terpenting dari buku ini mungkin ada di bab "Dari Sebuah Keyakinan Sampai Sebuah Keraguan". Pada bab ini, Pandji mengungkapkan sejarah kelam Indonesia dan bagaimana sebuah fakta dipuntir demi keuntungan golongan tertentu. Juga kebusukan - kebusukan terpendam negara ini yang tak disadari oleh banyak orang.
Mengapa Pandji mengungkit ini? Karena dia ingin memberi kesempatan pada pembacanya untuk ragu. Keraguan akan membuat seseorang mempertanyakan keyakinannya. Orang yang kembali dari keraguannya akan memiliki keyakinan yang lebih kuat. Dan karenanya mereka akan memiliki cinta yang lebih penuh serta tekad yang lebih kuat untuk berjuang.
"Setelah apa yang Anda tahu akan Indonesia. Baik dan buruknya. Kini waktunya Anda untuk pertanyakan kepada diri Anda sendiri. Apakah saya (masih) mencintai Indonesia?"
(Hal 287)
Sebuah cinta tentu tak akan berarti tanpa tindakan untuk membuktikannya.
Actions speak louder than words rite? ;)
Begitu pula dengan rasa cinta terhadap Indonesia. Karena cinta, kita pasti ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang hebat. Pandji memberikan 3 hal yang bisa kita lakukan untuk membantu Indonesia. Salah satunya adalah berkarya untuk masa depan bangsa. Berkarya dan menciptakan perubahan.
Bagaimana caranya?
Masing-masing pasti punya cara sendiri yang sesuai dengan kemampuan. Pandji memilih berkarya melalui hiphop, C3, program Satu Tiang Satu Tahun dan Donor Tetap. Mungkin ada yang menganggapnya pamer karena menuliskan kegiatannya secara blak-blakan di buku.
Tapi bagi saya sih enggak. Bagi saya, alasan Pandji menulisnya karena berharap ada yang terinspirasi dengan gerakannya dan mau melakukan hal yang serupa. Atau bisa juga sebagai tantangan terselubung. Dia seakan bilang: "Ini yang udah gw lakukan untuk Indonesia. Gimana dengan loe?"
"Mengubah hari ini, bisa jadi sudah terlambat. Pertanyaannya, maukah Anda jadi orang yang mengubah masa depan? Maukah?"
(Hal 327)
Membaca buku ini rasanya seperti makan gado-gado. Campur aduk tapi enak. Ada perasaan bangga, senang, terharu dan bersemangat. Serta perasaan untuk menularkan virus buku ini pada orang lain. (^_^)

Sekarang saya mau bahas alasan saya me-review buku ini.
Jadi gini...
Buku ini bermula dari sebuah e-book yang diposting di sini (Silakan download. Legal kok). E-book ini ternyata mendapat respon luas dan diunduh hampir 13.000 kali. Setelahnya, mulai banyak yang meminta agar buku ini hadir dalam bentuk fisik. Bagi Pandji, mencetak buku ini dalam bentuk fisik saja tidaklah cukup. Dia ingin agar buku ini bisa sampai kepada mereka yang tidak punya akses terhadap internet. Sayangnya, mereka yang tidak melek internet biasanya juga kurang maju di sisi ekonomi.

Adalah Bentang Pustaka dan Putera Sampoerna Foundation yang membantu Pandji mewujudkan keinginannya melalui program "Beli Satu Sumbang Satu". Maksudnya, setiap satu orang yang membeli buku Nasional.Is.Me maka dia telah menyumbangkan satu buku ini kepada saudara kita di pelosok sana yang haus informasi namun kekurangan akses.

Menurut saya, program ini bagus banget. Hanya dengan 1 buku ini, kita sudah bisa melaksanakan pesan yang tersirat di buku ini yaitu : menjadi agen perubahan untuk Indonesia. Hanya dengan 1 cara yang simple dan menyenangkan yaitu beli buku :).
Karenanya, saya tergerak membuat review ini. Semoga saja akan ada yang tertarik membeli bukunya pasca membaca review ini. Yah semoga... (iya...emang ngarep kok :D)

Saya suka cover-nya. Warna merah dengan tulisan berwarna putih. Indonesia banget. Cocok banget dengan judulnya. (^_^) Dan saya juga suka font pada cover-nya. Font apa sih itu? *wondering*
Tentang rating, melihat isinya saya mau kasi 4 bintang.
Tapi saya terkesan dengan program "Beli Satu Sumbang Satu"-nya dan memutuskan untuk memberi 5 bintang. Karena kita bisa saja menemukan buku-buku inspiratif lainnya, tapi tak banyak buku yang bisa membuat kita turut menjadi agen perubahan. Dan buku yang seunik ini layak diganjar nilai sempurna kan? :)
Makanya...beli dong buku ini :D
"Bukan kebetulan elo lahir pada zaman ketika Indonesia sedang seperti sekarang ini, dan bukan kebetulan juga elo membaca tulisan ini..."
(Hal 330)
Source : Here
Sekilas Tentang Penulis :
Pandji Pragiwaksono is now a husband, a father, a rapper, a stand up comedian, a political tv host, a book writer, an entrepreneur in basketball clothing and comics. He's everything he dreamed of.
(source : here)


PS : Review ini diikutsertakan dalam kontes “2011 End of Year Book Contest” yang diadakan oleh Okeyzz.
Buku ini memenuhi persyaratan nomor 5 kontes tersebut yaitu cover buku yang ada unsur warna merahnya.

Sunday, November 27, 2011

Breaking Dawn part 1


 Heu? Ini kan blog buku, kok bahas film?

Weits...tenang dong. Ini kan film yang diangkat dari buku. Lagian post ini gak akan membahas tentang jalan ceritanya, berhubung sama saja dengan bukunya dan sudah pernah dibahas.

Post ini akan memperbandingkan antara film dan buku, serta berapa banyak kemiripan/perbedaannya. So...memang lebih dikhususkan untuk mereka yang sudah membaca bukunya. Buat yang belum baca bukunya tapi berencana menonton dan gak mau spoiler, better back off now.

Dari pertama mendengar kabar kalau Breaking Dawn akan dipecah jadi 2 bagian, saya sudah skeptis. "Hah? 2 Part? Buku itu kan boring banget 1/2 part awalnya. Part akhir juga serunya nanggung. Semacam antiklimaks gitu. Dan yang serba nanggung gitu, mo dibikin jadi 2 part kayak Harry Potter 7? Duh...jauh ya, ceu." Demikianlah pikiran sinis saya kala itu.

Dan tenyata saya benar (_ _").
Awal film ini memang boriiingg banget kalo dari segi cerita. Secara ya memang gak ada apa-apa disana. Rada serunya baru pas di akhir.
Okeh...let's not talk about the story anymore. I've done my trash-talking of this book when I made a review about it.
Mari kita bahas dari sisi teknis film ini saja.

Gak banyak yang bisa dikatakan dari segi akting, soalnya aktor-aktris nya kan masih sama. Dan akting mereka juga masih sama.
Cuma bedanya di sini Pattinson gak berakting meringis-ringis lagi dan Stewart gak berakting seperti orang kedinginan.
Jadi menurut teman saya, alasan Pattinson dan Stewart berakting begitu adalah karena Edward merasa kesakitan tiap bersentuhan dengan Bella (yang mana mestinya berakhir di buku 2) dan Bella merasa kedinginan tiap bersentuhan kulit dengan Edward (yang mana gak pernah dibahas di buku). Teori teman saya memang agak aneh, tapi oh well..biarlah :s.

Tapi yang saya gak ngerti adalah kenapa di Breaking Dawn ini Pattinson dan Stewart berakting layaknya orang normal. Kenapa Edward dan Bella gak merasa sakit dan kedinginan lagi? Padahal Bella masih manusia bukan? Yang berarti kondisinya masih sama.
Ah sudahlah...toh dengan ini jadinya akting mereka lebih bagus. At least saya tahan melihat Stewart selama 2 jam tanpa berasa pengen jitak dia supaya aktingnya normal.

Adegan wedding yang selalu ditampilkan dalam trailer film ini memang bagus banget. Lebih anggun dan syahdu daripada penggambaran di buku. Gaun pengantin-nya Bella juga bagus banget, classic yet sexy. Kate Middleton mustinya menyerahkan desain gaun pengantinnya ke desainer gaunnya Bella ini, si Carolina Herera.

Lalu ada soundtrack-nya yang memang selalu juara. Satu dari 2 hal yang selalu saya suka dari Twilight Saga Movies adalah soundtrack-nya yang keren itu. And Breaking Dawn still doesn't failed me. Lagu-lagunya sendu, romantic, sweet tapi bikin galau; yang mana saking galaunya bisa bikin orang pengen nyilet nadi. LOL :))
Sayang gak ada lagunya Muse di film ini. Padahal Muse kan sudah menjadi semacam icon soundtrack Twilight series.

Satu lagi hal yang selalu saya suka dari Twilight series adalah sinematografinya. Dari sejak film pertama, saya sudah jatuh cinta dengan Forks dan rumah keluarga Cullen. Whooaa...diluar imajinasi saya. Gak menyangka Forks secantik itu, soalnya narasi Bella menggambarkan Forks sebagai kota kecil yang muram.
Nah di Breaking Dawn ini, selain Forks, ada tambahan Isle of Esme dan vila keluarga Cullen di pulau itu. Dan sumpah deh, pulau dan vila-nya bagus banget. Bikin iri dan serasa bikin pengen jitak Edward-Bella karena bisa tinggal disitu (iya...ini memang sirik >_<).

Make up-nya juga bagus.
Klo ingat bagaimana Twilight bermula dari "low budget movie" dengan make up yang jelek abis dimana terlihat jelas batas bedak di wajah dan leher para Vampire, maka make up di Breaking Dawn sungguh mengharukan dan pantas diacungi jempol (hey...ini bukan sindiran).
Paling bagus sih make up-nya Bella sewaktu dia mengandung. Bella bisa dibuat terlihat sangat kurus dan sangat tua. Cocok lah dengan versi buku tentang kondisi Bella saat hamil.
Dan oh...gak usah khawatir. Semua Vampire itu terlihat pucat alami, gak kelihatan bedaknya kok ;p.

Mengenai kemiripan cerita dengan buku, memang dari film pertama pun gak ada perbedaan yang signifikan ya (gak seperti Harry Potter versi movie dan buku). Malah...buat saya, ada yang menyenangkan dari versi movie ini.
Jadi gini...ada 3 hal yang bikin saya ill feel waktu baca bukunya, yaitu : 
(1) Waktu Bella hamil dan sangat-sangat-sangaaattt terikat dengan Jacob. Walau pun saya mengerti alasan keterikatannya, tetap saja saya eneg bacanya. Di film, hal ini tidak ditonjolkan.
(2) Waktu Bella dengan egoisnya memberi nama Edward Jacob pada calon bayinya tanpa konsultasi dengan Edward. Di film, adegan ini diubah dan ditampilkan dengan baik dan make sense sehingga gak bikin saya bete :).
Dan (3) adalah sewaktu Edward menyarankan Jacob agar membujuk Bella untuk menggugurkan anak Edward dan membiarkan Bella punya anak dari Jacob. Eewww...it's sooo...sick :s.
Thankfully di film ini, adegan itu...yah...mendingan nonton sendiri aja kali ya.... #eeeaaaaa #antiklimaks. LOL.
Tapi yah...tetap saja. Since this movie based on the lamest book of all, you couldn't expect something great from the story.

Lalu soal rating?
Hmm...rada bingung juga saya. Berdasarkan sisi teknisnya, saya pengen kasi 3 bintang (yeah...I like it). Tapi klo ingat ceritanya, sepertinya 2 bintang pun udah kebanyakan. Tapi sejang awal pun saya sudah berniat untuk tidak menilai film ini berdasarkan ceritanya bukan? Kalo begitu, boleh lah dikasi 3 bintang :).

Kesimpulannya, menurut saya, Breaking Dawn adalah film yang dikhususkan untuk para Twihard fans ato mereka yang ingin memanjakan mata dan telinga seperti saya :D.

Sekarang pertanyaannya, kalau bukan Twihard fans dan juga gak pengen buang duit untuk memanjakan mata dan telinga, layakkah film ini ditonton?
Kalo itu sih, tergantung...
Tergantung apakah anda sudah menonton film 1-3nya? Kalo iya, maka tontonlah film ke-4 ini. Tapi sebaiknya nonton film ini nanti-nanti saja, supaya gak antri gila-gilaan. Dan supaya gak ngedumel semacam "Gw capek-capek antri cuma buat film kayak gini?" seusai nonton film.

Tergantung juga apakah anda orang insomnia yang sudah gak tidur 3 hari (yup...kudu minimal 3 hari) dan pengen banget tidur?
Maka...HARUS!!! Anda wajib banget nonton Breaking Dawn klo gitu.  Trust me ;)

TAPI... kalau anda fans berat vampire-vampire karya Anne Rice dan gak tega liat Vampire-Werewolf dibikin galau atau kalau anda gak pernah menonton film 1-3nya, juga kalau anda pengen nonton film ini hanya karena ikut trend saja, maka saran saya hanyalah : KABUR!!!
Serius...cepat-cepatlah kabur dari film ini. Run for your sanity, guys ;)

Quote of the movie:
"No measure of time with you will be long enough. But we'll start with forever"
(Edward Cullen)

Thursday, November 10, 2011

Waktu Aku Sama Mika

Penulis : Indi
Penerbit : Homerian Pustaka
Ukuran : 11cm x 18 cm
ISBN : 978-979-17454-5-1

Buku ini adalah kumpulan curhat yang ditulis oleh Indi, seorang penderita scoliosis berumur 15 tahun untuk kekasihnya Mika, seorang penderita AIDS berumur 22 tahun yang kini telah pulang ke surga. Di buku ini, Indi menulis kenangan-kenangannya tentang Mika, rasa rindu dan cintanya, juga bagaimana dia telah dewasa sekarang dan berharap Mika bisa melihatnya.

Awal membacanya saya merasa jenuh. Begitu banyak pengulangan di buku ini, contohnya saja di halaman awal Indi sudah mengatakan dia kangen sama Mika, dan di pertengahan buku, dia mengulangnya lagi dengan kata-kata yang persis sama. Belum lagi gaya bahasanya yang sangat sederhana, sangat polos dan sangat kekanakan. Maksud saya, anak umur 15 tahun mana yang percaya awan terbuat dari gula-gula kapas, neverland benar-benar ada dan boogeyman akan pergi kalau disemprot obat nyamuk? Absurd bukan?

Lagipula berbeda dengan tipe buku harian lainnya seperti Buku Harian Zlata, Diary of A Wimpy Kid atau Diary of Anne Frank yang memang diperuntukkan untuk dibaca khalayak ramai, "Waktu Aku Sama Mika" jelas hanya ditujukan untuk Mika. Indi tak merasa perlu menjelaskan latar belakang Mika : pekerjaannya, keluarganya, pendidikannya, teman-temannya, bahkan juga pergulatan Mika melawan AIDS. Indi juga tak menjelaskan siapa Bima, Clifton dan nama-nama lain yang disebutkannya. Jelas Indi tak merasa perlu untuk menjelaskan karena toh Mika sudah mengenal mereka semua. Dan catatan ini memang untuk Mika, bukan untuk pembaca lainnya.
Lalu aku putuskan untuk berhenti bertanya. Karena aku segera yakin bahwa Bima itu salah. Tidak mungkin seseorang yang tertawa ketika menonton Mr.Bean, menyukai cokelat M&M’s dan percaya Tuhan itu tidak pantas untuk dipacari, kan?
Saya sudah hampir menutup buku ini separuh jalan, sudah kehilangan mood untuk menyelesaikannya.
Tapi kemudian saya ingat rasanya sewaktu masih remaja dan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Semua perasaan sayang yang masih polos itu dan keinginan untuk membuat orang yang dicintai bahagia dengan percaya saja semua perkataannya, tak peduli seabsurd apapun itu.
Lalu saya juga membayangkan apa efek perasaan cinta pertama pada Indi.
Indi yang seorang penderita skoliosis, yang tak bisa berlari, melompat, menari, berhitung, membungkuk. Indi yang hampir tak punya teman karena dia sulit bermain seperti anak normal lainnya. Indi yang kurang percaya diri karena punya banyak kekurangan. Indi yang hampir tak punya orang yang mencintainya dengan tulus diluar keluarganya.
Dan ketika suatu saat ada seorang Mika yang bisa memberinya cinta yang tulus, semangat dan rasa percaya diri, wajar kan kalau jadinya dia selalu terkenang pada Mika walau pun Mika sudah lama pergi?

Dan awalnya Indi memang meniatkan curhatan ini untuk Mika kok. Jadi salahkan publisher yang tertarik untuk menerbitkan catatan pribadinya. Salahkan juga pembaca yang mau-maunya membaca sesuatu yang semestinya personal.

Maka saya pun mulai melihat buku ini dari kacamata baru.
Saya berusaha melihatnya dari sisi pribadi saya yang masih remaja, melihatnya dalam pandangan seorang remaja polos. Dan pada akhirnya, saya bisa menikmatinya :). Bahkan saya cukup penasaran untuk membaca buku kedua-nya, untuk sekedar mencari tahu apakah di buku kedua akan ada penjelasan lebih lanjut tentang latar belakang Mika. Juga untuk mencari tahu bagaimana kehidupan Indi pra dan post Mika.

Cover buku ini lucu, terkesan polos khas anak-anak, tapi menarik dan mengundang rasa penasaran. Dan sebenarnya cukup menggambarkan isi bukunya. Saya juga suka font yang dipakai buku ini, terkesan seperti tulisan tangan.

Jadi saya kasih 3 bintang untuk buku ini, cause actually it was just okay, but in a weird way I could like it. Dan walau pun saya cukup penasaran membaca lanjutannya, tapi gak sepenasaran itu sampai merasa harus segera membeli buku keduanya (yah...ada masalah tight budget juga sih >_<).

Saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca agar kita mendapat gambaran lebih tentang seorang penderita skoliosis. Saya juga merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh para orang dewasa yang sudah lupa polosnya cinta pertama dan ingin mengingatnya kembali. Dan untuk mereka yang sudah sinis akan konsep cinta yang tulus. Juga untuk mereka yang takut menghadapi dunia dan memilih untuk bersembunyi di balik topeng. Contohlah Indi dengan berani untuk menjadi diri sendiri dan percayalah di suatu tempat, suatu saat, akan ada orang yang menerimamu apa adanya.

Quote of the books:
“Sugar, tau gak, kamu tuh ngingetin aku sama anak-anak di buku Torey Hayden”
“Karena aku cacat?”
“Bukan, tapi karena kamu special
 

Tuesday, November 08, 2011

Infinitely Yours

 Pengarang : Orizuka
Penerbit : Gagas Media
Tahun terbit  : 2011
Genre : Romantic Comedy
Jumlah Hlm : 304 hlm
Ukuran : 13 x 19 cm
ISBN : 979-780-508-5

Jingga, cewek yang ceria, dinamis dan bergaya kekanakan. Kalau hanya melihat dia secara tampilan luar saja, gak ada yang menyangka umurnya sudah 25 tahun. Jingga ngefans abis sama Korea, mulai dari makanan, budaya, musik, film bahkan sampai ke cowoknya. Ini adalah perjalanan Jingga yang kedua kalinya ke Korea. Agenda khususnya bertemu Yun Jae oppa, local tour guide waktu trip pertamanya ke Korea, si oppa ganteng yang ditaksir abis-abisan sama Jingga.

Tapi kayaknya, liburan kali ini gak bakal berjalan sesuai harapan Jingga. Waktu di bandara saja, dia sudah apes. PSPnya rusak karena terinjak oleh seorang bapak serius-nan-kaku-tapi-ganteng-kayak-Kang-Dong-Won. Bapak itu bernama Rayan, umurnya gak beda jauh dengan Jingga, dan ternyata dialah partner Jingga selama tour di Korea Selatan nanti (ini tour kok dengan seenaknya mempasang-pasangkan orang. Ugh...itu makanya saya paling emoh ikutan tour).

Rayan yang serius, kaku dan dingin, benci banget sama Korea. Alasan dia ke Korea hanyalah untuk bertemu Mariska, (mantan) pacarnya yang akan menikah dengan orang Korea. Dia ingin memastikan apakah Mariska benar serius mau menikah dengan orang lain. Dan Rayan makin jengkel waktu tahu partnernya selama tour adalah cewek berisik yang kebalikan banget sama dia.

Karena Rayan memang punya agenda sendiri, dia gak berminat patuh pada itinerary tour-nya. Dia mau jalan sendiri demi mencari Mariska. Jingga yang khawatir Rayan nyasar kalo pergi sendirian (ditambah emang si Jingga ini kepo) memutuskan untuk ikut menemani Rayan dalam mencari Mariska, walau pun tindakannya ini gak disetujui sama Yun Jae.

Pertemuan dengan Mariska ternyata berakhir mengecewakan buat Rayan. Untuk menghiburnya, Jingga mengajak (baca : memaksa) Rayan untuk ikutan dalam tur romantis Korea yang dirancangnya sendiri sekaligus menunjukkan sisi lain Korea. Lagian toh mereka juga sudah terpisah dari peserta rombongan tour yang lain (lengkapnya baca sendiri di buku ya). Maka dimulailah kebersamaan selama 5 hari itu.

Lima hari menjelajahi sudut-sudut romantis Korea Selatan. Lima hari melakukan hal-hal romantis ala Korea. Lima hari yang diisi tawa dan pertengkaran. Lima hari yang mengubah pandangan mereka terhadap satu sama lain. Dan lima hari yang membuat Jingga meragukan perasaannya ke Yun Jae.

Lalu saat Yun Jae yang sempurna itu menyatakan perasaannya ke Jingga, apa yang mesti Jingga lakukan? Bagaimana dengan Rayan yang juga mulai merasa tertarik pada Jingga? Haruskah dia mundur ato justru tetap maju?
Itulah cinta. Kita tak pernah tahu kapan dan kepada siapa dia akan jatuh...
Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan. Tapi, bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya? Apakah Tuhan campur tangan di dalamnya?
Kalau saya membaca buku ini 10 tahun yang lalu, mungkin saja saya bakal suka (ato malah suka banget) dengan buku ini.
Tapi membacanya sekarang, saat saya sudah banyak banget menonton drama seri asia dan bahkan mulai jenuh, yang terasa adalah : Bosan!!!

Semua hal dalam buku ini terlalu klise, terlalu khas drama korea (dan drama asia pada umumnya). Hampir semua unsur ada. Let's see : Couple yang menganut prinsip "opposite atrraction" dimana karakter cowoknya angkuh dan dewasa sedangkan karakter ceweknya ceria dan kekanakan namun pada akhirnya bisa mengubah si cowok? Check!
Pertemuan pertama yang terjadi secara kebetulan dan menimbulkan kesan buruk? Check!
Kejadian - kejadian kebetulan lainnya sampai ke pertemuan terakhir yang juga terjadi secara kebetulan? Adaa...
Menggalau di tepi sungai Han? Definitely!
Kehilangan dompet sampe kudu nginap di hotel murah dan terpaksa tidur sekamar? Terus akhirnya rebutan siapa yang tidur di tempat tidur? Check! Check!
Naik bus terus ketiduran di pundak cowok/ceweknya? Adaaa....
Dan masih banyak detail lainnya yang jadi panjang banget kalo mau disebutkan semuanya.

Tapi yang lebih mengganggu dari unsur-unsur Korea itu adalah ceritanya itu sendiri. Saya gak masalah dengan ide cerita yang standar. Saya selalu berpendapat nggak ada ide yang benar-benar baru saat ini, yang paling penting adalah modifikasi dan cara penyampaian cerita itu.
Dan disitulah masalahnya...
Sejak awal, seluruh “rute” cerita Infinitely Yours sudah ketahuan, buku ini tak menghadirkan satupun hal baru. Kisah tentang sepasang manusia berbeda kepribadian yang bertemu kala liburan dan kemudian saling tertarik sudah berkali-kali kita baca. Bahkan kehadiran orang ketiga pun sudah bisa diperkirakan.
Plot seperti ini sudah dipake belasan, puluhan dan mungkin ratusan drama atau film roman. Dan saya terus menunggu modifikasi atau twist atau kejutan atau apa pun itu yang akan membuat novel ini berbeda. Dan ternyata...gak ada! (-_-") Semuanya standar, semuanya tipikal. Dari awal sampai akhir semuanya sesuai dengan perkiraan saya.
"Kita terlalu mirip. Seperti medan magnet, kutub yang identik akan saling menolak satu sama lain"
-Mariska-
Bahkan karakter Jingga dan Rayan pun standar
Karakter Rayan ada di hampir semua drama korea. Pria yang galak, anti sosial dan workaholic tapi punya sisi rapuh dan lembut. Oh saya bisa menyebutkan beberapa karakter yang mirip Rayan : Young Jae-nya Full House, Shin di Princess Hours, Ki Joon-nya Lie To Me, dan yang lain-lain. Kalau ada 1 kelebihan Rayan, itu adalah kekukuhannya pada Indonesia :).

Dan Jingga? Sama aja... (?~?) Pasaran banget!
Jangan salah, saya suka kok karakter cewek-ceria-pecicilan dan sedikit gengges seperti Yoo Rin di My Girl, Chae Gyung-nya Princess Hours dan Ji Eun-nya Full House. Dan saya belum jenuh dengan karakter seperti ini.
Tapi karakter Jingga terasa membosankan buat saya. See...tiga karakter yang saya sebutkan di atas, walau pun setipe tapi punya keunikannya sendiri, sementara Jingga gak punya. Semua karakter Jingga ada di banyak drama lain. But there's none of her character that you can't found on another charas. Bagi saya, Jingga tidak terasa 'hidup'. Dia hanyalah copycat yang tak punya karakter sendiri.
Eh maaf, saya lupa klo Jingga punya keunikan yang justru terasa konyol, yaitu : punya ilusi kelewat manis tentang Korea dan pria-nya. It's fine to have that kind of ilusion if she's still a teenager, but completely different case if she's an adult. That makes her look silly and ridiculous.

Saya juga menyayangkan tokoh Yun Jae tidak berperan penting di sini. Dia cuma jadi karakter pemanis saja. Bahkan Orizuka gak berusaha memberikan gambaran hubungan Jingga dan Yun Jae di masa lalu, yang membuat pembaca maklum ketika tiba-tiba Yun Jae menyatakan perasaannya pada Jingga.
Padahal saya berharap Yun Jae bisa jadi salah satu twist di buku ini. Tapi, daripada mengembangkan peran Yun Jae, Orizuka lebih memilih menggambarkan Korea dengan detail. Agak terlalu detail malah, sampai membahas jurusan bus segala. Padahal kalo butuh informasi tentang Korea sampai sedetail itu, mendingan saya baca buku travel sekalian deh ;p.
"Karena semuanya cuma momen. Aku sedang patah hati, dan kamu datang pada saat yang tidak tepat. perasaan apa pun yang pernah kita miliki itu cuma yah...momen"
-Narayan Sadewa-
Saya sudah lama tahu tentang Orizuka. Saya salut padanya, menelurkan 13 novel dalam jangka waktu 6 tahun bukanlah hal yang remeh. Novelis sekelas Clara Ng atau Dewi Lestari saja perlu waktu 1 tahun untuk menghasilkan 1 novel. Karenanya wajar saja kalau saya punya ekspektasi tinggi dan jadi penasaran untuk membaca novelnya.

Infinitely Yours adalah percobaan pertama. And I'm disappointed despite its high rating on goodreads. Kayaknya sih saya masih akan mencoba baca karya Orizuka yang lainnya. Saya penasaran dengan Our Story dan Summer Breeze yang best seller itu; namun kali ini saya gak akan berharap ketinggian lagi.
"Dongeng seharusnya tetap menjadi dongeng"
Seperti yang saya sebutkan di atas, selain modifikasi, yang juga penting adalah penyampaian cerita. Sebagai penulis yang sudah menghasilkan 13 novel sudah pasti Orizuka tidak bermasalah dalam hal pemilihan diksi dan teknik bercerita. Bagus memang, tapi tidak istimewa (_ _") .
Ada beberapa penulis yang bukunya saya koleksi walau pun saya tidak suka dengan tema ceritanya. Buku yag ide ceritanya -sumpah- standar banget dan waktu baca berasa pengen saya skip aja, tapi pada akhirnya saya bisa tahan membaca secara runut  karena saya suka pada rangkaian katanya yang cerdas. Saya bahkan rela mengumpulkan bukunya karena saya ingin belajar menjalin kata seindah itu. Sitta Karina adalah salah satu contohnya.
Ada pula kategori penulis seperti Donny Dhirgantoro yang juga saya koleksi bukunya walau pun rangkaian katanya sederhana saja; alasan saya mengumpulkan bukunya karena saya suka dengan ide cerita dan bahasanya yang mengalir (dan lebih banyak buku yang masuk di kategori kedua ini).
Dan, setidaknya bagi saya, Infinitely Yours tidak masuk dalam 2 kategori itu :)
"Love is one heavy word"
-Rayan-
 Secara fisik, buku ini punya tampilan yang menarik. Kertas berkualitas bagus, ilustrasi yang cute di dalamnya dan cover yang cantik. Malah cover inilah yang membuat saya ngeh dengan keberadaan buku ini di antara deretan buku baru lainnya. Namun walau covernya bagus, tapi kurang menggambarkan isi cerita. Yah khasnya Gagas sih memang, yang juara dalam menyuguhkan cover cantik tapi tidak berhubungan dengan cerita. Buat saya sih gak masalah. Saya tetap suka covernya :).

Kesimpulannya...
Infinitely Yours bukan novel yang jelek kok; it's just not my cup of tea. Karena itu saya memberi rating 2 bintang (sesuai dengan rating goodreads yang artinya : it was ok) ditambah 1/2 bintang lagi untuk fisiknya yang menarik.

 PS : Saya masih penasaran, Orizuka memberi judul Infintely Yours memang dengan maksud menyamakan tagline pariwisata Seoul ato cuma kebetulan?

Sunday, October 30, 2011

Bola Bola Mimpi

Kali ini, saya bikin review yang beda dari biasanya. Saya gak bakal bahas plus dan minus-nya buku ini, gak bahas cover atau gaya penerjemahannya. Saya cuma akan memberi cuplikan buku ini, supaya anda bisa menilai sendiri apakah buku ini layak dibaca atau enggak :).

Alasan saya memberi cuplikan saja karena saya perhatikan entah di forum atau twitter, makin banyak aja yang mengeluhkan kondisi negara ini. Di satu sisi, mengeluh itu bagus sih. Itu tandanya kita belum puas, dan karenanya diharapkan berusaha untuk memperbaiki negara ini.
Tapi...kok saya melihatnya sepertinya kita terlalu banyak mengeluh, hingga lupa bersyukur ya?
Karena itu di bawah ini, saya memberi potongan dari novel karya Elizabeth Laird (saya selalu suka novel2 dia. Humanis banget ceritanya). Novel ini berjudul A Little Piece of Ground atau Bola Bola Mimpi dalam versi Indonesia.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Karim duduk di ujung tempat tidurnya. Kepalanya dikelilingi sekumpulan poster sepak bola yang menempel di dinding. Dahinya mengerut saat membaca selembar kertas di tangan.

Sepuluh hal terbaik yang aku inginkan dalam hidupku, tulisnya, oleh Karim Aboudi, Apartemen Jaffa 15, Ramallah, Palestina.

Di bawahnya, dengan tulisan tangan terbaik, Karim menulis:
1. Pemain sepak bola terbaik di dunia.
2. Keren, populer, ganteng, dengan tinggi minimal 1,90 meter (yang jelas lebih tinggi dari Jamal).
3. Pembebas Palestina dan pahlawan nasional.
4. Pembawa acara televisi dan aktor terkenal (yang penting terkenal).
5. Pencipta game komputer terbaik sepanjang masa.
6. Jadi diri sendiri, bebas melakukan semua yang aku suka tanpa diawasi terus-terusan oleh orangtua, kakak, dan guru-guruku.
7. Penemu formula asam (untuk menghancurkan baja yang digunakan dalam persenjataan, tank, dan helikopter milik Israel).
8. Lebih kuat dari Joni dan teman-temanku yang lain (ini tidak terlalu berlebihan).

Karim berhenti sambil menggigiti ujung bolpoinnya. Dari kejauhan, bunyi sirene ambulans meraung melintasi udara siang. Karim mendongakkan kepala, lalu memandang keluar jendela. Matanya yang besar dan hitam, menatap tajam dari bawah rambut hitam lurus yang membingkai wajahnya yang kurus kecoklatan.

Karim mulai menulis lagi.

9. Hidup. Kalaupun harus tertembak, hanya di bagian-bagian yang bisa disembuhkan, tidak di kepala atau tulang belakang, insya Allah.

10. …


Karim berhenti di nomor sepuluh. Dia memutuskan untuk membiarkannya kosong, siapa tahu ide bagus menclok di kepalanya nanti.

Karim membaca ulang tulisannya sambil duduk dan mengetok-ngetokkan ujung bolpoin ke kerah kemeja wol bergaris-garis, lalu mengambil selembar kertas baru. Kali ini, dengan lebih cepat, dia menulis:

Sepuluh hal yang tidak aku inginkan:
1. Tidak jadi pemilik toko seperti baba.
2. Tidak jadi dokter. Mama terus-terusan maksa aku jadi dokter. Padahal, mama tahu kalau aku benci darah.
3. Tidak pendek.
4. Tidak menikah dengan perempuan seperti Farah.
5. Tidak tertembak di punggung dan duduk di kursi roda seumur hidup seperti salah satu teman sekolahku.
6. Tidak jerawatan seperti Jamal.
7. Tidak dihancur-ratakan (maksudnya rumah kami) oleh tank Israel dan mengungsi ke tenda kumuh.
8. Tidak harus sekolah.
9. Tidak hidup dalam penjajahan. Tidak dicekal terus-terusan oleh tentara Israel. Tidak takut. Tidak terjebak di dalam rumah atau gedung.
10. Tidak mati.

Karim membaca ulang tulisannya. Seperti ada yang kurang. Dia yakin, ada yang terlupakan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tokoh utama di buku ini adalah Karim Aboudi, seorang anak Palestina biasa yang tinggal di Ramallah, yang saat itu sedang dalam pendudukan Israel.

Nantinya, diceritakan tentara Israel memberlakukan jam malam. Saat diberlakukan jam malam itu, Karim terjebak di dalam sebuah mobil tua yang berada di "a little piece of ground" yang biasa jadi tempat dia bermain bola. Saat dia berusaha melarikan diri dari situ untuk sampai ke rumahnya, dia tertembak. Seperti yang dia harapkan, dia gak tertembak di bagian vital. Dia tertembak di bagian kaki & kakaknya Jamal berhasil membawanya ke rumah sakit. Di bawah ini adalah kutipan lain dari buku yg sama (hal. 264-265)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Pagi yang luar biasa panjang merangkak pelan. Terkadang, Karim berusaha tidur, tapi tidak pernah berhasil. Dia mencoba membuat permainan baru, merangkai cerita, dan melamun. Saat itu, dia teringat kembali pada daftar yang dibuatnya, pada segala hal yang ingin dia lakukan dalam hidupnya. Kapankah itu, beberapa minggu yang lalu? Tapi rasanya paling sedikit seperti setahun yang lalu. Karim coba mengingat-ingat apa saja yang telah ditulisnya.

Semua itu, pikirnya, semua yang pernah kuimpikan – membebaskan Palestina, menjadi pemain bola, menciptakan game computer, menjadi penemu – semuanya sampah.

Karim ingat, daftar itu belum selesai. Ada satu lagi yang perlu ditambahkan agar bisa lengkap jadi sepuluh. Sekarang dia tahu. Setelah mengalami semua kejadian ini, cuma ada satu hal yang paling dia inginkan.

Menjadi orang biasa, gumam Karim. Hidup sebagai orang biasa di negeri biasa. Di negeri Palestina yang merdeka. Tapi itu nggak bakal berhasil. Mereka nggak bakal memberikan apa yang menjadi hak kami.
________________________________________________________________________________

Dan tidakkah kamu bersyukur, tinggal di Indonesia yang merdeka? Dimana kamu bebas keluar malam, bebas merancang mimpimu setinggi langit dan bebas berpendapat?

Tidakkah kamu bersyukur hidup sebagai orang biasa di negeri biasa?

” Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS Ar-Rahmaan)


Data buku:
Judul Asli : A Little Piece of Ground  
Penulis : Elizabeth Laird
Jumlah Halaman : 324
Penerbit : PT Mizan Pustaka
ISBN : 979-3828-01-3

Setelah Dia Pergi

Judul Asli : Where She Went
Pengarang : Gayle Forman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa : Poppy D. Chusfani
Editor : Dini Pandia
Publish : 27 Oktober 2011
ISBN / EAN : 9789792276503 / 9789792276503
240 hlm; 20 cm

Buku ini merupakan lanjutan If I Stay yang juga karangan Gayle Forman. Jadi...kalau anda memang belum membaca If I Stay, please jangan baca review ini. Karena, tanpa bisa dihindari, review ini akan memberi spoiler pada ending If I Stay dan akan mengurangi keasyikan membaca If I Stay nantinya.

"She kissed me good-bye. She told me that she loved me more than life itself. Then she stepped through security. She never came back."
-Adam Wilde-
Cerita dimulai tiga tahun sejak kecelakaan tragis yang merenggut keluarga Mia. Dan tiga tahun juga sejak Mia keluar dari kehidupan Adam.
 Dalam tiga tahun ini, Mia berjuang menyembuhkan luka fisik dan jiwa yang dialaminya karena kecelakaan. Sekarang, dia adalah cellist muda berbakat dari Juilliard yang akan memulai karier profesionalnya.

Dalam tiga tahun ini juga, Adam berusaha keras melupakan Mia. Sekarang ini, Adam sudah menjadi bintang rock terkenal, diganjar berbagai platinum dan award, pengidap anxiety disorder dan berubah jadi sosok yang pahit. Adam sadar dia berjalan menuju kehancuran walau tak tahu bagaimana menghentikan dirinya.

Suatu hari yang panas di New York, takdir mempertemukan mereka lagi. Tersedia waktu 24 jam untuk bersama sebelum masing - masing pergi ke benua yang berbeda. Maka Mia mengajak Adam untuk menjelajahi kota yang sekarang menjadi rumahnya sambil mengunjungi masa lalu, untuk membuat sebuah 'closure' atau penutup pada hubungan mereka yang mengambang. Dan juga untuk menjawab pertanyaan terbesar Adam selama 3 tahun ini :  "KENAPA??!!" Kenapa Mia pergi dan kenapa dia melakukan ini pada Adam? 
"Someone wake me when it's over. When the evening silence softens golden. Just lay me on a bed of clover. Oh I need help with this burden." 
Collateral Damage - Hush
Where She Went (WSW) adalah cerita-nya Adam. Sebagai narator tunggal, Adam bercerita tentang hidupnya, kariernya yang meroket, kehampaan dan kepedihannya juga kenangan hidupnya dengan dan tanpa Mia. Sama dengan If I Stay, novel ini juga bercerita dengan gaya flashback, dari masa kini-ke masa lalu-dan kembali ke masa kini.

Saya pernah bilang yang saya suka dari If I Stay adalah karakter Mia dan Adam yang realistis. Di buku ini, sisi realistis itu masih terjaga, walau tentu saja mereka sudah berubah.
Mia jelas berubah. Gak ada yang bisa tetap sama setelah melewati peristiwa tragis itu. Perubahan Mia lebih menarik dibaca langsung di bukunya, karena itu gak saya spoil disini ^-^

Adam...yah dia jelas berubah juga. Sayang perubahannya ke arah yang lebih buruk. Tapi disinilah hebatnya Forman, walau tak setuju dengan perubahan Adam, namun saya bisa mengerti. Forman bisa meyakinkan saya bahwa perubahan Adam wajar saja. Dia membuat Adam jadi karakter yang emo tapi gak menye dan mellow. Sehingga bukannya kesal sama Adam (saya suka kesal sama tokoh cowok yang terlalu emo), saya malah bersimpati.

Sejujurnya, saya terharu pada Adam.
Waktu baca If I Stay, karena membaca hanya dari sisi Mia, saya gak memahami seberapa dalamnya perasaan Adam ke Mia. Saya pikir jenis cinta mereka hanyalah cinta monyet masa remaja.

Ternyata saya salah.
Lewat cerita Adam, saya tahu bahwa sejak awal dia sudah serius dengan Mia. Bagi Adam, ini adalah cinta yang nyata, dan karenanya, saya bisa paham mengapa dia hancur ketika Mia pergi. Saya ikut merasakan kegeraman dan rasa penasaran Adam terhadap Mia.

Saya ikut bersedih untuk Adam ketika mengetahui alasan di balik kepergian Mia. Tapi akhirnya, sama seperti Adam, saya bisa menerima alasan Mia dan setuju ketika Adam mengikhlaskan apa pun keputusan Mia, termasuk melepaskannya bila perlu.
"Hate me. Devastate me. Annihilate me. Re-create me. Re-create me. Won't you, won't you won't you re-create me."
 -Collateral Damage-
Yang juga saya suka di WSW ini adalah chemistry Mia dan Adam yang makin bagus. Seperti yang saya bilang, Adam sudah berubah. Tapi saya bisa melihat kembalinya Adam yang dulu setelah dia bertemu Mia lagi. Hanya Mia yang bisa mengeluarkan sisi terbaik Adam. And for me, that's sweet :)

Oh and I love the ending too.
Nope, I won't spoil it here. I'd just say that Forman tied the ending with a red ribbon but not too tight :)
"Are you happy in your misery? Resting peaceful in desolation? It's the final tie that binds us. The sole source of my consolation"
Collateral Damage - Blue
Buat saya, kekurangan di seri ke-2 ini adalah musik.
Musik sangat berperan bagi hubungan Mia dan Adam. Musik-lah alasan perkenalan sekaligus penghias kebersamaan mereka. Musik-lah yang membantu Mia dalam pemulihan pasca kecelakaan. Musik juga yang menjadi pelarian Adam setelah ditinggal Mia. Dan pada akhirnya, musik yang mempertemukan mereka lagi.

Dengan peran sebesar itu, mestinya musik menjadi nafas di buku ini. Tapi somehow, entah kenapa, musik tidak mempunyai kesan yang kuat bagi pembaca. Minimal tidak sekuat buku pertamanya.

Tapi biar begitu, sepanjang membaca buku ini, ada 2 lagu yang bermain di benak saya. Yang pertama adalah Waiting For The End-nya Linkin Park. Yang kedua, sejak Adam bertransformasi setelah bertemu Mia, lagu yang terngiang adalah The Only Exception-nya Paramore.
"First you inspect me. Then you dissect me. Then you reject me. I wait for the day that you'll resurrect me"
Collateral Damage - Animate
Cover versi GPU menggambarkan sisi belakang sebuah gitar yang disandarkan pada pintu usang bercat hijau. Dari cover-nya, saya mendapat 'feel' suasana musim panas, seseorang yang jenuh atau lelah dengan kehidupannya dan ingin berbalik dari dunia. Cover yang cantik dan sangat menggambarkan isi buku ini. Cover designer-nya memang favorit saya : Marcel A.W.
Dan jelas menang jauh dibanding cover aslinya.

Untuk terjemahan, hmm...entah lah ya. Saya terharu sih waktu baca. Tapi gak sampai nangis juga. Beda banget dengan review-review di goodreads yang bilang ini "tearjerker book".
Ada apa? Salah penerjemahan kah?
Tapi penerjemahnya sama kok dengan di If I Stay. Dan beliau itu salah 1 penerjemah favorit saya.

Karena penasaran, saya membaca versi US-nya. Dan ternyata...mata saya berkaca - kaca. Saya memang lebih merasa terharu tapi tetap aja gak sampai menangis.

Berarti gak ada yang salah dengan terjemahan GPU. Memang begitu lah cara Forman menulis WSW, berjiwa namun kurang emosional. Seenggaknya gak seemosional If I Stay klo menurut saya. Fyuh...thanks, GPU. U still do not fail me :).

And then...
Menurut saya Where She Went sangat layak dibaca. Untuk menjawab rasa penasaran akan If I Stay, untuk melihat kelanjutan kisah Adam dan Mia. Dan terutama untuk belajar dari mereka tentang mengatasi kehilangan.

Empat bintang untuk Where She Went baik versi terjemahan mau pun versi US.

PS : Saya sih berharap GPU akan tetap menerbitkan karya-karya Forman yang lainnya. ^_^

Quote of the book :
"But I'd do it again. I know that know. I'd make that promise a thousand times over and lose her a thousand times over to have heard her play last night or to see her in the morning sunlight. Or even without that. Just to know that she's somewhere out there. Alive."
-Adam Wilde-

Thursday, October 27, 2011

Jika Aku Tetap Disini

Judul Asli : If I Stay
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa : Poppy D. Chusfani
Editor : Dini Pandia
Publish : 8 Februari 2011



“I realize now that dying is easy. Living is hard.” 
-Mia Hall- 

Buku ini bercerita tentang Mia, seorang pemain Cello berbakat berumur 17 tahun. Kehidupan Mia normal saja dengan keluarga yang harmonis dan pacar yang menyayanginya.
Masalah terbesar Mia dalam hidup adalah memutuskan apakah dia akan ke New York demi mengejar mimpi masuk Juilliard atau tetap tinggal di kota kecilnya bersama keluarga dan pacar tercinta. Should she stay or should she leave?

Di suatu hari bersalju, kehidupan Mia berubah. Kecelakaan naas menimpa mobil yang ditumpangi keluarga Mia. Mia tak tahu pasti apa yang terjadi. Yang dia tahu, sewaktu sadar, dia melihat kedua orang tuanya dalam kondisi mengenaskan dan adiknya entah dimana. Berikutnya, Mia (ato lebih tepat: rohnya Mia) melihat tubuhnya dibawa ke RS hingga masuk ICU. Dia koma dan tak ada yang tahu, apakah dia akan sadar lagi atau tidak.
Dan pertanyaan yang dihadapi Mia tetap sama : Should she stay or should she leave?
"Well, what was that? What's that sound that I hear? It's just my lifetime. It's just whistling past my ear. And when I look back everything seems smaller than life. The way it's been for so long since last night..."
-Waiting for Vengeance-
Novel ini diambil dari sudut pandang Mia hingga rasanya benar-benar seperti Mia sendiri yang bercerita kepada kita. Sambil turut mengawasi fisik Mia yang sedang dirawat dan melihat para penjenguknya, dalam sehari itu Mia juga akan bercerita pada kita tentang keluarganya, Adam (kekasihnya) dan kecintaannya pada musik klasik. Juga pada dilema yang dihadapi Mia untuk tetap tinggal atau pergi. Sebagai pembaca, tentu saja sejak awal saya berharap dia tinggal, namun melalui penuturan Mia, saya paham jika dia ingin pergi.
Tenang...walau pun cerita di novel ini tragis, tapi gak mellow kok. Anda akan merasa terharu pada Mia, tapi gak akan sampai meratapi nasibnya ;).

Menurut saya, tema terbesar di buku ini bukanlah tentang hidup dan mati. Tapi tentang pilihan-pilihan yang kita hadapi sepanjang hidup. Dan bukan hanya Mia.
Di buku ini, ada beberapa karakter yang hidupnya berjalan tidak sesuai dengan yang diniatkan pada awalnya. But that's okay. Cause that's life. Not everything could goes the way you've planned it. Ucapan Ayah Mia cukup mewakili tema buku ini : "Sometimes you make choices in life and sometimes choices make you."
“And that's just it, isn't it? That's how we manage to survive the loss. Because love, it never dies, it never goes away, it never fades, so long as you hang on to it."
-Mia Hall-
Salah satu hal yang paling saya suka dari buku ini, adalah karakternya yang realistis. Disini gak ada cowok 'vampir-romantis-rela-berkorban', gak ada juga cowok 'miliuner-namun-enggan-berkomitmen' ato pria bangsawan nan angkuh. Yang ada hanya Adam, anak band biasa saja yang mencintai Mia dengan tulus.
Gak ada cewek menye-menye yang egois, gak ada lady yang cantik namun miskin, atau gadis cerdas tapi sok tahu. Yang ada cuma Mia, siswa dengan prestasi akademis biasa saja dan 'rada' serius yang pas untuk anak pendiam sepertinya.

Dan semua karakter yang realistis ini membuat kita merasa kenal pada Mia dan bersimpati karena merasa bahwa apa yang menimpanya dapat juga menimpa kita.
 “I'm not sure this is a world I belong in anymore. I'm not sure that I want to wake up.”
-Mia Hall-
Minus di buku ini?
Kurang tebal, kurang banyak :D.
Awalnya saya juga protes tentang ending-nya. Soalnya kok ya gitu aja. Setelah kita tahu apa keputusan Mia, langsung tamat ceritanya. Jadi kurang puas. Protes saya berakhir ketika tahu bahwa buku ini masih ada lanjutannya. Syukurlah :)
“It's okay if you want to go. Everyone wants you to stay. I want you to stay more than I've ever wanted anything in my life. But that's what I want and I could see why it might not be what you want. So I just wanted to tell you that I understand if you go. It's okay if you have to leave us. It's okay if you want to stop fighting."
-Gramps-
Dari segi cover, saya suka banget dengan cover buku ini. Sebuah bangku merah dengan latar belakang musim dingin yang kelabu. Suasana hening dan muram dalam buku ini sangat terwakilkan oleh covernya. Saya sudah melihat macam-macam versi cover If I Stay dari berbagai negara, dan tetap saja paling suka dengan versi cover Gramedia.

Untuk terjemahan, waktu saya membaca buku ini dalam bahasa aslinya, menurut saya suasana yang cocok untuk mendapatkan 'feel' buku ini adalah : cuaca dingin, berlindung di balik selimut, ditemani Pathetique Sonata-nya Beethoven atau Ballad no 1-nya Chopin.

Lalu kalau gak punya itu semua gimana?
Gak masalah kok :).
Saya membaca buku versi terjemahan GPU saat liburan ke Belitung, di pinggir pantai yang panasnya 'naujubile' dan berisik banget. Yang terjadi adalah saya lupa dengan panas di sekitar dan sonata-nya Beethoven serta Chopin terus bermain di kepala saya.

Kok bisa?

Jelas bisa-lah. Saya juga gak terlalu paham. Tapi ada sesuatu dalam bahasa terjemahan GPU yang mampu membuat suasana dingin dan hening di buku menjadi terasa nyata. Versi terjemahan GPU juga bisa menyampaikan kesedihan dan keharuan yang dituliskan Gayle Forman.

Salut buat penerjemah, editor, ilustrator cover, proofreader (ada gak sih?) dan semua pihak di GPU yang bisa menghidupkan buku ini sebagus yang dituliskan Forman. You guys really did a very good job :).

Akhir kata, saya merekomendasikan buku ini sebagai bacaan wajib. Saya gak bisa janji bahwa anda akan merasa tersentuh atau terharu seperti saya. Tapi saya bisa jamin, anda gak akan menyesal meluangkan waktu dan dana untuk membacanya karena buku ini benar - benar layak dibaca :).

Empat bintang untuk If I Stay versi US dan 4,5 bintang untuk versi terjemahan GPU (setengah bintang khusus untuk cover-nya yang cantik).

PS : Menurut berita sih, buku ini akan difilmkan dengan Dakota Fanning sebagai Mia. Yeaayy...gak sabar nunggunya. Fanning salah satu aktris favorit saya (^_^)

Quote of the book:
“If you stay, I'll do whatever you want. I'll quit the band, go with you to New York. But if you need me to go away, I'll do that, too. I was talking to Liz and she said maybe coming back to your old life would be too painful, that maybe it'd be easier for you to erase us. And that would suck, but I'd do it. I can lose you like that if I don't lose you today. I'll let you go. If you stay.”
-Adam Wilde- 

Wednesday, October 26, 2011

Breaking Dawn


Uhm....udah lama ya saya gak bikin review yang penuh celaan?
Let's start now ;) *merentangkan lengan kiri - rentangkan lengan kanan - lemaskan kedua jari - kretek - kretek - ah..feel good ^_^*

For Twilight Saga fans, back off please.
If you still insist to read, well..you've been warned
Oh and alsooo...FULL SPOILER!!! (tapi hari gini masak iya masih belum baca nih buku?)

SINOPSIS :

Bila kau mencintai orang yang membunuhmu, kau tak punya pilihan. Bila nyawamu satu-satunya yang harus kauberikan untuk orang yang kaucintai, bagaimana mungkin kau tidak memberikannya? Bagi Bella Swan, mencintai dan dicintai vampir bernama Edward adalah bagaikan khayalan dan mimpi buruk yang dirajut jadi satu ke dalam kenyataan. Bukan itu saja, hubungannya yang sangat istimewa dengan Jacob Black sang werewolf, ternyata menyeret Bella ke pilihan-pilihan pelik yang membuat hati keduanya tercabik-cabik. Tapi konon cinta harus memilih, dan karenanya Bella harus memutuskan. Dan sebagai orang yang sangat mengenal Bella, Jacob tahu persis apa keputusan gadis itu. Lalu sanggupkah Jacob meninggalkan Bella selamanya untuk menyembuhkan luka-luka hatinya sendiri? Dan ketika Bella mencarinya, sanggupkah Jacob mengatakan tidak?

COMMENT :

Selama baca buku ini saya curiga, jangan - jangan saya masochist? Soalnya saya tetap menuntaskan baca buku ini walaupun sebenarnya saya udah eneg, bete dan pengen buanget ngerobeknya.

Tapi saya lebih curiga lagi klo Stephanie Meyer itu sadistis!
Soalnya, saya gak ngerti kenapa Meyer tega ngehancurin masterpiece nya (Twilight) menjadi Breaking Dawn.

Ayo kita mulai dari :
1. karakter paling menyebalkan di buku ini : BELLA!
Halaman - halaman awal buku ini udah bikin saya bete sama Bella. Dia mengeluh tentang mobil sport canggihnya yang diberikan Edward. Dia mengeluh tentang persiapan nikahnya, tentang gaun pengantin dan cincinnya. Dan semuanya cuma karena dia khawatir dengan anggapan negatif orang - orang asing yang (bahkan) dia gak kenal karena dia nikah muda.
Saya jadi kasihan sama Bella karena dia musti menikah dengan orang-yang-dia-cintai-lebih-besar-daripada-hidupnya.

Belum lagi egoisnya Bella yang udah dimulai di buku sebelumnya dan ditonjolkan banget di sini. Dimulai dari perlakuannya ke Jacob.
Di Eclipse, Bella nyadar kalo dia mencintai Jacob tapi gak bisa hidup tanpa Edward. Jadi, dia memilih Edward.
Fine! Gak ada yang salah dengan itu.
Tapi ternyata, Bella gak bisa ngelepasin Jacob, sodara - sodara! Di pernikahannya aja, Bella udah flirting dengan Jacob. Selama kehamilannya, dia merasa gak bisa pisah dengan Jacob, pengen selalu bareng sama dia. Dan keegoisan Bella mencapai puncak waktu dia menamakan bayinya yang belum lahir dengan Edward Jacob.

Edward Jacob??? Seriously... Edward JACOB???
Dan langsung memberi nama seperti itu bahkan tanpa konsultasi dengan Edward? Tidak terpikirkah kalo Edward (mungkin) gak suka dengan nama itu? Is that your child with Edward or your child alone?
I fail to see why Edward and Jacob love this girl so much.

2. Edward..
Siapa pun kamu, anggota team Jacob ato pun team Edward, saya yakin alasan pertama kamu mengikuti Twilight (pada awalnya) adalah Edward.
Edward adalah gambaran paling ideal dari seorang hero di novel romance. Tapi pada akhir saga ini, saya berpendapat Edward bukanlah sosok ideal. Dia seorang masokis yang terobsesi pada Bella. Begitu terobsesinya sampai buta. Dan yang tadinya rada iri sama Bella, saya malah jadi kasihan sama Edward. Bayangin aja, kalimat favorit Edward adalah : "Kalau itu membuatnya bahagia, maka aku akan melakukannya."
*rolleyes* *rolleyeslagi* *ehcopot* ;p

Melalui karakter Edward, saya mendapat pesan : kalo kamu mencintai seseorang, lakukan apa pun yang membuatnya bahagia. Apa? Perasaanmu tersakiti dan harga dirimu terinjak? Gak papa!!! Karena yang terpenting adalah, dia bahagia. Ayo ulangi lagiiii....Yap betuuulll.... Dia bahagiaaaaaaaaa (ini semacam metode brain wash baru versi Meyer) :p

Oh Tante Meyer, kalo kayak gini pendapat Anda tentang cinta, maka saya prihatin dengan Anda.

3. Jacob..
Ini satu lagi karakter masokis dalam saga ini. Kalo saya ketemu Jacob, saya bakal bilang :"Dude, get a life. There're still many girls out there." Trus udah gitu saya mo keplak Jacob bolak balik. Maksudnya biar otaknya kembali ke tengah gitu dan nyadar klo sebenernya si Meyer ini benci banget banget sama Jacob

Yup...pasti Meyer benci banget banget sama tokoh rekaannya ini. Soalnya selain benci banget banget, saya gak menemukan alasan kenapa kok ya ada pengarang yang tega kasi nasib setragis itu ke ciptaannya sendiri.

Oke lah kalo Jacob cinta banget sama Bella, tapi setelah jelas Bella memilih Edward, mestinya Jacob dibiarkan saja menyingkir untuk mengobati sakit hatinya kan? Bukannya disuruh datang lagi dalam hidup Bella dan (kembali) sakit hati melihat kenyataan Bella gak bisa ngelepasin dia tapi juga milih Edward.
Belum lagi soal imprint nya Jacob.
Waktu pertama kali Meyer memperkenalkan konsep imprint, saya sudah excited aja, menduga-duga siapa yang jadi imprint-nya Jacob nanti. Leah mungkin. Ato salah satu temannya Bella. Ato Jane yg di kelompok Aro itu. Ato cewek pemadat. Ato ibu beranak 7. Ato... oke...you get the point.

Tapi kesenangan itu hilang begitu saya tahu dia imprint dengan putri Edward dan Bella.
Oh My God!!! *tepokjidat* *jidatnyaMeyer*
Tepat pada saat saya mikir cerita ini gak bisa lebih kacau lagi, it did.

Maksud saya, kenapa siiihh harus seseorang yang berhubungan dengan Bella? Gak bisakah Jacob mendapat kebahagiaannya tanpa dekat - dekat dengan Bella? Kenapa gak kasi Jacob cewek lain yang hidupnya sungguh sangat menderita? Jadi Jacob bisa berperan sebagai prince charming yang menyelamatkan seorang damsel in distress.

4. The storyline
Di antara semua hal tentang Breaking Dawn, point ke 4 ini yang paling bikin saya kecewa.
Dari sejak awal, kita sudah diberi tahu betapa menderitanya jadi vampire. Bahwa keluarga Cullen, seandainya mereka bisa kembali ke masa lalu, tak akan memilih untuk jadi vampire.

Ini cara hidup yang dikutuk Tuhan. Banyak kekurangan dan derita pada kehidupan vampire apalagi vegetarian vampire kayak keluarga Cullen. Seperti merasa haus dan mesti menahan godaan untuk gak menyerang manusia bahkan saat sedang lapar, Bella musti rela putus hubungan dari keluarganya, dan Bella gak bakal bisa punya anak.

Dan di Breaking Dawn, semua alasan itu dihancurkan dengan sempurna!

Begitu Bella membuka matanya di hari pertama dia jadi vampir, semua lebih indah, lebih berkilau, bahkan Bella pun lebih cantik.

Lalu...secara ajaib, Bella gak merasakan "haus" yang dialami para vampire. Kemampuan untuk mengontrol naluri menyerang manusia yang umumnya dipelajari bertahun - tahun, didapat Bella dengan mudah.

Bella juga gak kehilangan keluarganya. Orang tuanya bisa mengerti perubahannya walau pun gak tahu alasannya. Gak ngerti deh orang tua Bella ini terlalu sayang anak ato malah cuek. Normalnya kan orang tua pasti penasaran kalo ada yang aneh dengan anaknya. Apalagi anak yang segitu disayang kayak Bella.

Dan di atas semua itu, Bella punya anak! Salah satu faktor yang membuat Edward berusaha mencegah Bella jadi vampire dihancurkan di novel ini.

Oh ada 1 lagi.
Ada yang masih ingat kenapa Bella bisa punya anak?
Karena dia ngotot mau berhubungan dengan Edward sebelum dia jadi vampire. Dia takut "human emotion"nya bakal hilang. Ternyata, setelah dia berubah jadi vampire, semua "emotion" itu masih ada, dan bahkan bertambah berkali - kali lipat. Dan semua kenikmatan itu....abadi. Wow... -___-

Di akhir saga ini, saya jadi berpikir : kenapa kita gak jadi vampire aja sih? Hidup tampak lebih indah dan lebih mudah setelah Bella jadi vampire, so kenapa kita (para pembaca) gak bisa mengalami hal yang sama?

Judul Breaking Dawn menggambarkan awal hari yang baru untuk Bella. Dan dalam penjelasannya mengenai cover Breaking Dawn, Meyer menjelaskan klo cover itu menggambarkan transformasi Bella yang awalnya cewek lemah (pion catur) jadi yang paling kuat (ratu).

Saya pribadi berpendapat, cover itu menggambarkan Bella sebagai ratu yang mendapatkan semua yang diinginkannya, dan para pembaca (well...saya sih tepatnya) sebagai pion, yang mukanya merah karena emosi sehabis membaca novel ini.

Rating?
Oh...haruskah ada rating?
Sebenarnya gak pengen. Tapi saya menghargai usaha Meyer untuk menulisnya, lalu usaha penerbitnya. Jadi setengah bintang saja boleh lah ;p

Setengah bintang karena sampai akhir, saya masih gak ngerti apa sih pesan moral yang ingin diberikan Meyer dengan saganya ini?
Ada yang bisa kasih tahu saya?