Monday, November 28, 2011

Nasional.Is.Me

Data Buku:
Judul: Nasional.Is.Me
Penulis: Pandji Pragiwaksono
Penerbit: Bentang Pustaka
Penyunting: Ikhdah Henny
Pemeriksa Aksara: Nunung
Tebal: xiv + 330 hlm
Harga: Rp54.000
Rilis: Juli 2011 (Cet. I)
ISBN: 9786028811538
 


Selain untuk tugas sekolah/kampus dulu, saya hanya 1x pernah mereview buku non fiksi. Bukannya gak suka sama buku kayak begini, tapi masalahnya saya memang gak tau bagaimana membuat review yang benar untuk kategori non fiksi.
Namun ada sesuatu di buku ini yang menggerakkan saya untuk mencoba membuat review. Sesuatu yang akan saya sebutkan di akhir postingan ini.

Saya selalu berpendapat semua rakyat Indonesia cinta kok kepada tanah air-nya ini. Sayang, kebobrokan dan beratnya hidup yang dijalani di negeri tercinta ini membuat  sebagian besar dari mereka menjadi pahit dan pesimis pada negeri ini. Saking banyaknya yang pesimis, bila masih ada yang optimis dengan negara ini justru dianggap anomali dan diajukan pertanyaan seperti : "Apa sih yang bikin loe masih optimis sama negara ini?"

Buku ini adalah jawaban seorang Pandji terhadap pertanyaan tersebut.
Menurut Pandji, semua tindakan atau keputusan yang kita pilih berdasar pada wawasan kita. We are what we know. Dan seandainya mereka yang pesimis itu tahu tentang Indonesia seperti yang diketahui Pandji, maka mereka tentu akan sama optimisnya dengan dia. Pandji menulis buku ini dengan harapan bahwa lebih banyak lagi orang yang tahu tentang Indonesia. Karena buku ini memang untuk Indonesia.
"Cinta adalah hal terakhir yang mutlak kita bisa berikan kepada anak kita, ketika kita tidak bisa, tidak kuasa memberikan apa pun lagi"
(hal 151)
Wawasan tentu saja didapat dari pengalaman dan pembelajaran.
Untuk itulah pada bab "Dari Sabang Sampai Merauke", Pandji berbagi wawasannya tentang Indonesia. Dia berpendapat : tidak boleh kita membenci sesuatu yang tidak kita pahami. Tapi lucunya, kebanyakan dari mereka yang pesimis tentang Indonesia malah belum pernah melihat Indonesia secara luas. Kebanyakan mereka hanya pernah ke sekitaran pulau Jawa atau paling jauhnya: Bali. Satu kalimat Pandji yang sangat mengena :"Bagaimana mereka bisa bilang benci Indonesia kalau yang mereka tahu tentang Indonesia hanyalah dari apa yang mereka baca di media dan tonton di TV." (hal 88)
Melalui bab ini Pandji menunjukkan dengan nyata bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta, bukan juga hanya Jawa dan Bali. Bahwa seluruh daerah di Indonesia bisa kita banggakan sama besarnya seperti kita membanggakan Bali.

Bab ini adalah favorit saya.
Saya juga cinta dan bangga banget sama negara ini. Dan saya selalu ingin membagi sisi lain Indonesia kepada banyak orang. Karenanya senang sekali melihat seorang dengan pengaruh besar seperti Pandji (follower twitternya lumayan banyak lho) melakukan sesuatu yang belum mampu saya lakukan. Mudah-mudahan saja, sehabis membaca buku ini makin banyak rakyat Indonesia yang lebih tertarik menjelajahi negaranya ketimbang menghabiskan uang untuk berburu diskon di negara tetangga.
Dan bab ini juga semakin memantapkan niat saya untuk melihat Indonesia secara langsung dari ujung ke ujung. So far sih baru sampai Maluku. Doakan semoga bisa sampai Papua ya \(^o^)/
"Dengan segala potensi yang dimiliki bangsa ini, siapa yang tidak optimis dengan Indonesia? Wong orang luar negeri saja optimis kok dengan Indonesia."
(hal 204)
Pada bab "Dari Sebuah Krisis Sampai Pada Perasaan Optimis" Pandji menyinggung tentang ekonomi Indonesia. Bab ini berangkat dari sebuah pertanyaan yang juga dipertanyakan banyak orang :"Apa yang salah dengan perekonomian Indonesia?" Untuk menjawab pertanyaan ini, Pandji menghadirkan para pakar di bidang ekonomi, yang memberi tahu letak kekurangan sekaligus kekuatan ekonomi Indonesia. Suatu bahasan yang menarik dan mudah dicerna.

Bagian terpenting dari buku ini mungkin ada di bab "Dari Sebuah Keyakinan Sampai Sebuah Keraguan". Pada bab ini, Pandji mengungkapkan sejarah kelam Indonesia dan bagaimana sebuah fakta dipuntir demi keuntungan golongan tertentu. Juga kebusukan - kebusukan terpendam negara ini yang tak disadari oleh banyak orang.
Mengapa Pandji mengungkit ini? Karena dia ingin memberi kesempatan pada pembacanya untuk ragu. Keraguan akan membuat seseorang mempertanyakan keyakinannya. Orang yang kembali dari keraguannya akan memiliki keyakinan yang lebih kuat. Dan karenanya mereka akan memiliki cinta yang lebih penuh serta tekad yang lebih kuat untuk berjuang.
"Setelah apa yang Anda tahu akan Indonesia. Baik dan buruknya. Kini waktunya Anda untuk pertanyakan kepada diri Anda sendiri. Apakah saya (masih) mencintai Indonesia?"
(Hal 287)
Sebuah cinta tentu tak akan berarti tanpa tindakan untuk membuktikannya.
Actions speak louder than words rite? ;)
Begitu pula dengan rasa cinta terhadap Indonesia. Karena cinta, kita pasti ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang hebat. Pandji memberikan 3 hal yang bisa kita lakukan untuk membantu Indonesia. Salah satunya adalah berkarya untuk masa depan bangsa. Berkarya dan menciptakan perubahan.
Bagaimana caranya?
Masing-masing pasti punya cara sendiri yang sesuai dengan kemampuan. Pandji memilih berkarya melalui hiphop, C3, program Satu Tiang Satu Tahun dan Donor Tetap. Mungkin ada yang menganggapnya pamer karena menuliskan kegiatannya secara blak-blakan di buku.
Tapi bagi saya sih enggak. Bagi saya, alasan Pandji menulisnya karena berharap ada yang terinspirasi dengan gerakannya dan mau melakukan hal yang serupa. Atau bisa juga sebagai tantangan terselubung. Dia seakan bilang: "Ini yang udah gw lakukan untuk Indonesia. Gimana dengan loe?"
"Mengubah hari ini, bisa jadi sudah terlambat. Pertanyaannya, maukah Anda jadi orang yang mengubah masa depan? Maukah?"
(Hal 327)
Membaca buku ini rasanya seperti makan gado-gado. Campur aduk tapi enak. Ada perasaan bangga, senang, terharu dan bersemangat. Serta perasaan untuk menularkan virus buku ini pada orang lain. (^_^)

Sekarang saya mau bahas alasan saya me-review buku ini.
Jadi gini...
Buku ini bermula dari sebuah e-book yang diposting di sini (Silakan download. Legal kok). E-book ini ternyata mendapat respon luas dan diunduh hampir 13.000 kali. Setelahnya, mulai banyak yang meminta agar buku ini hadir dalam bentuk fisik. Bagi Pandji, mencetak buku ini dalam bentuk fisik saja tidaklah cukup. Dia ingin agar buku ini bisa sampai kepada mereka yang tidak punya akses terhadap internet. Sayangnya, mereka yang tidak melek internet biasanya juga kurang maju di sisi ekonomi.

Adalah Bentang Pustaka dan Putera Sampoerna Foundation yang membantu Pandji mewujudkan keinginannya melalui program "Beli Satu Sumbang Satu". Maksudnya, setiap satu orang yang membeli buku Nasional.Is.Me maka dia telah menyumbangkan satu buku ini kepada saudara kita di pelosok sana yang haus informasi namun kekurangan akses.

Menurut saya, program ini bagus banget. Hanya dengan 1 buku ini, kita sudah bisa melaksanakan pesan yang tersirat di buku ini yaitu : menjadi agen perubahan untuk Indonesia. Hanya dengan 1 cara yang simple dan menyenangkan yaitu beli buku :).
Karenanya, saya tergerak membuat review ini. Semoga saja akan ada yang tertarik membeli bukunya pasca membaca review ini. Yah semoga... (iya...emang ngarep kok :D)

Saya suka cover-nya. Warna merah dengan tulisan berwarna putih. Indonesia banget. Cocok banget dengan judulnya. (^_^) Dan saya juga suka font pada cover-nya. Font apa sih itu? *wondering*
Tentang rating, melihat isinya saya mau kasi 4 bintang.
Tapi saya terkesan dengan program "Beli Satu Sumbang Satu"-nya dan memutuskan untuk memberi 5 bintang. Karena kita bisa saja menemukan buku-buku inspiratif lainnya, tapi tak banyak buku yang bisa membuat kita turut menjadi agen perubahan. Dan buku yang seunik ini layak diganjar nilai sempurna kan? :)
Makanya...beli dong buku ini :D
"Bukan kebetulan elo lahir pada zaman ketika Indonesia sedang seperti sekarang ini, dan bukan kebetulan juga elo membaca tulisan ini..."
(Hal 330)
Source : Here
Sekilas Tentang Penulis :
Pandji Pragiwaksono is now a husband, a father, a rapper, a stand up comedian, a political tv host, a book writer, an entrepreneur in basketball clothing and comics. He's everything he dreamed of.
(source : here)


PS : Review ini diikutsertakan dalam kontes “2011 End of Year Book Contest” yang diadakan oleh Okeyzz.
Buku ini memenuhi persyaratan nomor 5 kontes tersebut yaitu cover buku yang ada unsur warna merahnya.

Sunday, November 27, 2011

Breaking Dawn part 1


 Heu? Ini kan blog buku, kok bahas film?

Weits...tenang dong. Ini kan film yang diangkat dari buku. Lagian post ini gak akan membahas tentang jalan ceritanya, berhubung sama saja dengan bukunya dan sudah pernah dibahas.

Post ini akan memperbandingkan antara film dan buku, serta berapa banyak kemiripan/perbedaannya. So...memang lebih dikhususkan untuk mereka yang sudah membaca bukunya. Buat yang belum baca bukunya tapi berencana menonton dan gak mau spoiler, better back off now.

Dari pertama mendengar kabar kalau Breaking Dawn akan dipecah jadi 2 bagian, saya sudah skeptis. "Hah? 2 Part? Buku itu kan boring banget 1/2 part awalnya. Part akhir juga serunya nanggung. Semacam antiklimaks gitu. Dan yang serba nanggung gitu, mo dibikin jadi 2 part kayak Harry Potter 7? Duh...jauh ya, ceu." Demikianlah pikiran sinis saya kala itu.

Dan tenyata saya benar (_ _").
Awal film ini memang boriiingg banget kalo dari segi cerita. Secara ya memang gak ada apa-apa disana. Rada serunya baru pas di akhir.
Okeh...let's not talk about the story anymore. I've done my trash-talking of this book when I made a review about it.
Mari kita bahas dari sisi teknis film ini saja.

Gak banyak yang bisa dikatakan dari segi akting, soalnya aktor-aktris nya kan masih sama. Dan akting mereka juga masih sama.
Cuma bedanya di sini Pattinson gak berakting meringis-ringis lagi dan Stewart gak berakting seperti orang kedinginan.
Jadi menurut teman saya, alasan Pattinson dan Stewart berakting begitu adalah karena Edward merasa kesakitan tiap bersentuhan dengan Bella (yang mana mestinya berakhir di buku 2) dan Bella merasa kedinginan tiap bersentuhan kulit dengan Edward (yang mana gak pernah dibahas di buku). Teori teman saya memang agak aneh, tapi oh well..biarlah :s.

Tapi yang saya gak ngerti adalah kenapa di Breaking Dawn ini Pattinson dan Stewart berakting layaknya orang normal. Kenapa Edward dan Bella gak merasa sakit dan kedinginan lagi? Padahal Bella masih manusia bukan? Yang berarti kondisinya masih sama.
Ah sudahlah...toh dengan ini jadinya akting mereka lebih bagus. At least saya tahan melihat Stewart selama 2 jam tanpa berasa pengen jitak dia supaya aktingnya normal.

Adegan wedding yang selalu ditampilkan dalam trailer film ini memang bagus banget. Lebih anggun dan syahdu daripada penggambaran di buku. Gaun pengantin-nya Bella juga bagus banget, classic yet sexy. Kate Middleton mustinya menyerahkan desain gaun pengantinnya ke desainer gaunnya Bella ini, si Carolina Herera.

Lalu ada soundtrack-nya yang memang selalu juara. Satu dari 2 hal yang selalu saya suka dari Twilight Saga Movies adalah soundtrack-nya yang keren itu. And Breaking Dawn still doesn't failed me. Lagu-lagunya sendu, romantic, sweet tapi bikin galau; yang mana saking galaunya bisa bikin orang pengen nyilet nadi. LOL :))
Sayang gak ada lagunya Muse di film ini. Padahal Muse kan sudah menjadi semacam icon soundtrack Twilight series.

Satu lagi hal yang selalu saya suka dari Twilight series adalah sinematografinya. Dari sejak film pertama, saya sudah jatuh cinta dengan Forks dan rumah keluarga Cullen. Whooaa...diluar imajinasi saya. Gak menyangka Forks secantik itu, soalnya narasi Bella menggambarkan Forks sebagai kota kecil yang muram.
Nah di Breaking Dawn ini, selain Forks, ada tambahan Isle of Esme dan vila keluarga Cullen di pulau itu. Dan sumpah deh, pulau dan vila-nya bagus banget. Bikin iri dan serasa bikin pengen jitak Edward-Bella karena bisa tinggal disitu (iya...ini memang sirik >_<).

Make up-nya juga bagus.
Klo ingat bagaimana Twilight bermula dari "low budget movie" dengan make up yang jelek abis dimana terlihat jelas batas bedak di wajah dan leher para Vampire, maka make up di Breaking Dawn sungguh mengharukan dan pantas diacungi jempol (hey...ini bukan sindiran).
Paling bagus sih make up-nya Bella sewaktu dia mengandung. Bella bisa dibuat terlihat sangat kurus dan sangat tua. Cocok lah dengan versi buku tentang kondisi Bella saat hamil.
Dan oh...gak usah khawatir. Semua Vampire itu terlihat pucat alami, gak kelihatan bedaknya kok ;p.

Mengenai kemiripan cerita dengan buku, memang dari film pertama pun gak ada perbedaan yang signifikan ya (gak seperti Harry Potter versi movie dan buku). Malah...buat saya, ada yang menyenangkan dari versi movie ini.
Jadi gini...ada 3 hal yang bikin saya ill feel waktu baca bukunya, yaitu : 
(1) Waktu Bella hamil dan sangat-sangat-sangaaattt terikat dengan Jacob. Walau pun saya mengerti alasan keterikatannya, tetap saja saya eneg bacanya. Di film, hal ini tidak ditonjolkan.
(2) Waktu Bella dengan egoisnya memberi nama Edward Jacob pada calon bayinya tanpa konsultasi dengan Edward. Di film, adegan ini diubah dan ditampilkan dengan baik dan make sense sehingga gak bikin saya bete :).
Dan (3) adalah sewaktu Edward menyarankan Jacob agar membujuk Bella untuk menggugurkan anak Edward dan membiarkan Bella punya anak dari Jacob. Eewww...it's sooo...sick :s.
Thankfully di film ini, adegan itu...yah...mendingan nonton sendiri aja kali ya.... #eeeaaaaa #antiklimaks. LOL.
Tapi yah...tetap saja. Since this movie based on the lamest book of all, you couldn't expect something great from the story.

Lalu soal rating?
Hmm...rada bingung juga saya. Berdasarkan sisi teknisnya, saya pengen kasi 3 bintang (yeah...I like it). Tapi klo ingat ceritanya, sepertinya 2 bintang pun udah kebanyakan. Tapi sejang awal pun saya sudah berniat untuk tidak menilai film ini berdasarkan ceritanya bukan? Kalo begitu, boleh lah dikasi 3 bintang :).

Kesimpulannya, menurut saya, Breaking Dawn adalah film yang dikhususkan untuk para Twihard fans ato mereka yang ingin memanjakan mata dan telinga seperti saya :D.

Sekarang pertanyaannya, kalau bukan Twihard fans dan juga gak pengen buang duit untuk memanjakan mata dan telinga, layakkah film ini ditonton?
Kalo itu sih, tergantung...
Tergantung apakah anda sudah menonton film 1-3nya? Kalo iya, maka tontonlah film ke-4 ini. Tapi sebaiknya nonton film ini nanti-nanti saja, supaya gak antri gila-gilaan. Dan supaya gak ngedumel semacam "Gw capek-capek antri cuma buat film kayak gini?" seusai nonton film.

Tergantung juga apakah anda orang insomnia yang sudah gak tidur 3 hari (yup...kudu minimal 3 hari) dan pengen banget tidur?
Maka...HARUS!!! Anda wajib banget nonton Breaking Dawn klo gitu.  Trust me ;)

TAPI... kalau anda fans berat vampire-vampire karya Anne Rice dan gak tega liat Vampire-Werewolf dibikin galau atau kalau anda gak pernah menonton film 1-3nya, juga kalau anda pengen nonton film ini hanya karena ikut trend saja, maka saran saya hanyalah : KABUR!!!
Serius...cepat-cepatlah kabur dari film ini. Run for your sanity, guys ;)

Quote of the movie:
"No measure of time with you will be long enough. But we'll start with forever"
(Edward Cullen)

Thursday, November 10, 2011

Waktu Aku Sama Mika

Penulis : Indi
Penerbit : Homerian Pustaka
Ukuran : 11cm x 18 cm
ISBN : 978-979-17454-5-1

Buku ini adalah kumpulan curhat yang ditulis oleh Indi, seorang penderita scoliosis berumur 15 tahun untuk kekasihnya Mika, seorang penderita AIDS berumur 22 tahun yang kini telah pulang ke surga. Di buku ini, Indi menulis kenangan-kenangannya tentang Mika, rasa rindu dan cintanya, juga bagaimana dia telah dewasa sekarang dan berharap Mika bisa melihatnya.

Awal membacanya saya merasa jenuh. Begitu banyak pengulangan di buku ini, contohnya saja di halaman awal Indi sudah mengatakan dia kangen sama Mika, dan di pertengahan buku, dia mengulangnya lagi dengan kata-kata yang persis sama. Belum lagi gaya bahasanya yang sangat sederhana, sangat polos dan sangat kekanakan. Maksud saya, anak umur 15 tahun mana yang percaya awan terbuat dari gula-gula kapas, neverland benar-benar ada dan boogeyman akan pergi kalau disemprot obat nyamuk? Absurd bukan?

Lagipula berbeda dengan tipe buku harian lainnya seperti Buku Harian Zlata, Diary of A Wimpy Kid atau Diary of Anne Frank yang memang diperuntukkan untuk dibaca khalayak ramai, "Waktu Aku Sama Mika" jelas hanya ditujukan untuk Mika. Indi tak merasa perlu menjelaskan latar belakang Mika : pekerjaannya, keluarganya, pendidikannya, teman-temannya, bahkan juga pergulatan Mika melawan AIDS. Indi juga tak menjelaskan siapa Bima, Clifton dan nama-nama lain yang disebutkannya. Jelas Indi tak merasa perlu untuk menjelaskan karena toh Mika sudah mengenal mereka semua. Dan catatan ini memang untuk Mika, bukan untuk pembaca lainnya.
Lalu aku putuskan untuk berhenti bertanya. Karena aku segera yakin bahwa Bima itu salah. Tidak mungkin seseorang yang tertawa ketika menonton Mr.Bean, menyukai cokelat M&M’s dan percaya Tuhan itu tidak pantas untuk dipacari, kan?
Saya sudah hampir menutup buku ini separuh jalan, sudah kehilangan mood untuk menyelesaikannya.
Tapi kemudian saya ingat rasanya sewaktu masih remaja dan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Semua perasaan sayang yang masih polos itu dan keinginan untuk membuat orang yang dicintai bahagia dengan percaya saja semua perkataannya, tak peduli seabsurd apapun itu.
Lalu saya juga membayangkan apa efek perasaan cinta pertama pada Indi.
Indi yang seorang penderita skoliosis, yang tak bisa berlari, melompat, menari, berhitung, membungkuk. Indi yang hampir tak punya teman karena dia sulit bermain seperti anak normal lainnya. Indi yang kurang percaya diri karena punya banyak kekurangan. Indi yang hampir tak punya orang yang mencintainya dengan tulus diluar keluarganya.
Dan ketika suatu saat ada seorang Mika yang bisa memberinya cinta yang tulus, semangat dan rasa percaya diri, wajar kan kalau jadinya dia selalu terkenang pada Mika walau pun Mika sudah lama pergi?

Dan awalnya Indi memang meniatkan curhatan ini untuk Mika kok. Jadi salahkan publisher yang tertarik untuk menerbitkan catatan pribadinya. Salahkan juga pembaca yang mau-maunya membaca sesuatu yang semestinya personal.

Maka saya pun mulai melihat buku ini dari kacamata baru.
Saya berusaha melihatnya dari sisi pribadi saya yang masih remaja, melihatnya dalam pandangan seorang remaja polos. Dan pada akhirnya, saya bisa menikmatinya :). Bahkan saya cukup penasaran untuk membaca buku kedua-nya, untuk sekedar mencari tahu apakah di buku kedua akan ada penjelasan lebih lanjut tentang latar belakang Mika. Juga untuk mencari tahu bagaimana kehidupan Indi pra dan post Mika.

Cover buku ini lucu, terkesan polos khas anak-anak, tapi menarik dan mengundang rasa penasaran. Dan sebenarnya cukup menggambarkan isi bukunya. Saya juga suka font yang dipakai buku ini, terkesan seperti tulisan tangan.

Jadi saya kasih 3 bintang untuk buku ini, cause actually it was just okay, but in a weird way I could like it. Dan walau pun saya cukup penasaran membaca lanjutannya, tapi gak sepenasaran itu sampai merasa harus segera membeli buku keduanya (yah...ada masalah tight budget juga sih >_<).

Saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca agar kita mendapat gambaran lebih tentang seorang penderita skoliosis. Saya juga merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh para orang dewasa yang sudah lupa polosnya cinta pertama dan ingin mengingatnya kembali. Dan untuk mereka yang sudah sinis akan konsep cinta yang tulus. Juga untuk mereka yang takut menghadapi dunia dan memilih untuk bersembunyi di balik topeng. Contohlah Indi dengan berani untuk menjadi diri sendiri dan percayalah di suatu tempat, suatu saat, akan ada orang yang menerimamu apa adanya.

Quote of the books:
“Sugar, tau gak, kamu tuh ngingetin aku sama anak-anak di buku Torey Hayden”
“Karena aku cacat?”
“Bukan, tapi karena kamu special
 

Tuesday, November 08, 2011

Infinitely Yours

 Pengarang : Orizuka
Penerbit : Gagas Media
Tahun terbit  : 2011
Genre : Romantic Comedy
Jumlah Hlm : 304 hlm
Ukuran : 13 x 19 cm
ISBN : 979-780-508-5

Jingga, cewek yang ceria, dinamis dan bergaya kekanakan. Kalau hanya melihat dia secara tampilan luar saja, gak ada yang menyangka umurnya sudah 25 tahun. Jingga ngefans abis sama Korea, mulai dari makanan, budaya, musik, film bahkan sampai ke cowoknya. Ini adalah perjalanan Jingga yang kedua kalinya ke Korea. Agenda khususnya bertemu Yun Jae oppa, local tour guide waktu trip pertamanya ke Korea, si oppa ganteng yang ditaksir abis-abisan sama Jingga.

Tapi kayaknya, liburan kali ini gak bakal berjalan sesuai harapan Jingga. Waktu di bandara saja, dia sudah apes. PSPnya rusak karena terinjak oleh seorang bapak serius-nan-kaku-tapi-ganteng-kayak-Kang-Dong-Won. Bapak itu bernama Rayan, umurnya gak beda jauh dengan Jingga, dan ternyata dialah partner Jingga selama tour di Korea Selatan nanti (ini tour kok dengan seenaknya mempasang-pasangkan orang. Ugh...itu makanya saya paling emoh ikutan tour).

Rayan yang serius, kaku dan dingin, benci banget sama Korea. Alasan dia ke Korea hanyalah untuk bertemu Mariska, (mantan) pacarnya yang akan menikah dengan orang Korea. Dia ingin memastikan apakah Mariska benar serius mau menikah dengan orang lain. Dan Rayan makin jengkel waktu tahu partnernya selama tour adalah cewek berisik yang kebalikan banget sama dia.

Karena Rayan memang punya agenda sendiri, dia gak berminat patuh pada itinerary tour-nya. Dia mau jalan sendiri demi mencari Mariska. Jingga yang khawatir Rayan nyasar kalo pergi sendirian (ditambah emang si Jingga ini kepo) memutuskan untuk ikut menemani Rayan dalam mencari Mariska, walau pun tindakannya ini gak disetujui sama Yun Jae.

Pertemuan dengan Mariska ternyata berakhir mengecewakan buat Rayan. Untuk menghiburnya, Jingga mengajak (baca : memaksa) Rayan untuk ikutan dalam tur romantis Korea yang dirancangnya sendiri sekaligus menunjukkan sisi lain Korea. Lagian toh mereka juga sudah terpisah dari peserta rombongan tour yang lain (lengkapnya baca sendiri di buku ya). Maka dimulailah kebersamaan selama 5 hari itu.

Lima hari menjelajahi sudut-sudut romantis Korea Selatan. Lima hari melakukan hal-hal romantis ala Korea. Lima hari yang diisi tawa dan pertengkaran. Lima hari yang mengubah pandangan mereka terhadap satu sama lain. Dan lima hari yang membuat Jingga meragukan perasaannya ke Yun Jae.

Lalu saat Yun Jae yang sempurna itu menyatakan perasaannya ke Jingga, apa yang mesti Jingga lakukan? Bagaimana dengan Rayan yang juga mulai merasa tertarik pada Jingga? Haruskah dia mundur ato justru tetap maju?
Itulah cinta. Kita tak pernah tahu kapan dan kepada siapa dia akan jatuh...
Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan. Tapi, bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya? Apakah Tuhan campur tangan di dalamnya?
Kalau saya membaca buku ini 10 tahun yang lalu, mungkin saja saya bakal suka (ato malah suka banget) dengan buku ini.
Tapi membacanya sekarang, saat saya sudah banyak banget menonton drama seri asia dan bahkan mulai jenuh, yang terasa adalah : Bosan!!!

Semua hal dalam buku ini terlalu klise, terlalu khas drama korea (dan drama asia pada umumnya). Hampir semua unsur ada. Let's see : Couple yang menganut prinsip "opposite atrraction" dimana karakter cowoknya angkuh dan dewasa sedangkan karakter ceweknya ceria dan kekanakan namun pada akhirnya bisa mengubah si cowok? Check!
Pertemuan pertama yang terjadi secara kebetulan dan menimbulkan kesan buruk? Check!
Kejadian - kejadian kebetulan lainnya sampai ke pertemuan terakhir yang juga terjadi secara kebetulan? Adaa...
Menggalau di tepi sungai Han? Definitely!
Kehilangan dompet sampe kudu nginap di hotel murah dan terpaksa tidur sekamar? Terus akhirnya rebutan siapa yang tidur di tempat tidur? Check! Check!
Naik bus terus ketiduran di pundak cowok/ceweknya? Adaaa....
Dan masih banyak detail lainnya yang jadi panjang banget kalo mau disebutkan semuanya.

Tapi yang lebih mengganggu dari unsur-unsur Korea itu adalah ceritanya itu sendiri. Saya gak masalah dengan ide cerita yang standar. Saya selalu berpendapat nggak ada ide yang benar-benar baru saat ini, yang paling penting adalah modifikasi dan cara penyampaian cerita itu.
Dan disitulah masalahnya...
Sejak awal, seluruh “rute” cerita Infinitely Yours sudah ketahuan, buku ini tak menghadirkan satupun hal baru. Kisah tentang sepasang manusia berbeda kepribadian yang bertemu kala liburan dan kemudian saling tertarik sudah berkali-kali kita baca. Bahkan kehadiran orang ketiga pun sudah bisa diperkirakan.
Plot seperti ini sudah dipake belasan, puluhan dan mungkin ratusan drama atau film roman. Dan saya terus menunggu modifikasi atau twist atau kejutan atau apa pun itu yang akan membuat novel ini berbeda. Dan ternyata...gak ada! (-_-") Semuanya standar, semuanya tipikal. Dari awal sampai akhir semuanya sesuai dengan perkiraan saya.
"Kita terlalu mirip. Seperti medan magnet, kutub yang identik akan saling menolak satu sama lain"
-Mariska-
Bahkan karakter Jingga dan Rayan pun standar
Karakter Rayan ada di hampir semua drama korea. Pria yang galak, anti sosial dan workaholic tapi punya sisi rapuh dan lembut. Oh saya bisa menyebutkan beberapa karakter yang mirip Rayan : Young Jae-nya Full House, Shin di Princess Hours, Ki Joon-nya Lie To Me, dan yang lain-lain. Kalau ada 1 kelebihan Rayan, itu adalah kekukuhannya pada Indonesia :).

Dan Jingga? Sama aja... (?~?) Pasaran banget!
Jangan salah, saya suka kok karakter cewek-ceria-pecicilan dan sedikit gengges seperti Yoo Rin di My Girl, Chae Gyung-nya Princess Hours dan Ji Eun-nya Full House. Dan saya belum jenuh dengan karakter seperti ini.
Tapi karakter Jingga terasa membosankan buat saya. See...tiga karakter yang saya sebutkan di atas, walau pun setipe tapi punya keunikannya sendiri, sementara Jingga gak punya. Semua karakter Jingga ada di banyak drama lain. But there's none of her character that you can't found on another charas. Bagi saya, Jingga tidak terasa 'hidup'. Dia hanyalah copycat yang tak punya karakter sendiri.
Eh maaf, saya lupa klo Jingga punya keunikan yang justru terasa konyol, yaitu : punya ilusi kelewat manis tentang Korea dan pria-nya. It's fine to have that kind of ilusion if she's still a teenager, but completely different case if she's an adult. That makes her look silly and ridiculous.

Saya juga menyayangkan tokoh Yun Jae tidak berperan penting di sini. Dia cuma jadi karakter pemanis saja. Bahkan Orizuka gak berusaha memberikan gambaran hubungan Jingga dan Yun Jae di masa lalu, yang membuat pembaca maklum ketika tiba-tiba Yun Jae menyatakan perasaannya pada Jingga.
Padahal saya berharap Yun Jae bisa jadi salah satu twist di buku ini. Tapi, daripada mengembangkan peran Yun Jae, Orizuka lebih memilih menggambarkan Korea dengan detail. Agak terlalu detail malah, sampai membahas jurusan bus segala. Padahal kalo butuh informasi tentang Korea sampai sedetail itu, mendingan saya baca buku travel sekalian deh ;p.
"Karena semuanya cuma momen. Aku sedang patah hati, dan kamu datang pada saat yang tidak tepat. perasaan apa pun yang pernah kita miliki itu cuma yah...momen"
-Narayan Sadewa-
Saya sudah lama tahu tentang Orizuka. Saya salut padanya, menelurkan 13 novel dalam jangka waktu 6 tahun bukanlah hal yang remeh. Novelis sekelas Clara Ng atau Dewi Lestari saja perlu waktu 1 tahun untuk menghasilkan 1 novel. Karenanya wajar saja kalau saya punya ekspektasi tinggi dan jadi penasaran untuk membaca novelnya.

Infinitely Yours adalah percobaan pertama. And I'm disappointed despite its high rating on goodreads. Kayaknya sih saya masih akan mencoba baca karya Orizuka yang lainnya. Saya penasaran dengan Our Story dan Summer Breeze yang best seller itu; namun kali ini saya gak akan berharap ketinggian lagi.
"Dongeng seharusnya tetap menjadi dongeng"
Seperti yang saya sebutkan di atas, selain modifikasi, yang juga penting adalah penyampaian cerita. Sebagai penulis yang sudah menghasilkan 13 novel sudah pasti Orizuka tidak bermasalah dalam hal pemilihan diksi dan teknik bercerita. Bagus memang, tapi tidak istimewa (_ _") .
Ada beberapa penulis yang bukunya saya koleksi walau pun saya tidak suka dengan tema ceritanya. Buku yag ide ceritanya -sumpah- standar banget dan waktu baca berasa pengen saya skip aja, tapi pada akhirnya saya bisa tahan membaca secara runut  karena saya suka pada rangkaian katanya yang cerdas. Saya bahkan rela mengumpulkan bukunya karena saya ingin belajar menjalin kata seindah itu. Sitta Karina adalah salah satu contohnya.
Ada pula kategori penulis seperti Donny Dhirgantoro yang juga saya koleksi bukunya walau pun rangkaian katanya sederhana saja; alasan saya mengumpulkan bukunya karena saya suka dengan ide cerita dan bahasanya yang mengalir (dan lebih banyak buku yang masuk di kategori kedua ini).
Dan, setidaknya bagi saya, Infinitely Yours tidak masuk dalam 2 kategori itu :)
"Love is one heavy word"
-Rayan-
 Secara fisik, buku ini punya tampilan yang menarik. Kertas berkualitas bagus, ilustrasi yang cute di dalamnya dan cover yang cantik. Malah cover inilah yang membuat saya ngeh dengan keberadaan buku ini di antara deretan buku baru lainnya. Namun walau covernya bagus, tapi kurang menggambarkan isi cerita. Yah khasnya Gagas sih memang, yang juara dalam menyuguhkan cover cantik tapi tidak berhubungan dengan cerita. Buat saya sih gak masalah. Saya tetap suka covernya :).

Kesimpulannya...
Infinitely Yours bukan novel yang jelek kok; it's just not my cup of tea. Karena itu saya memberi rating 2 bintang (sesuai dengan rating goodreads yang artinya : it was ok) ditambah 1/2 bintang lagi untuk fisiknya yang menarik.

 PS : Saya masih penasaran, Orizuka memberi judul Infintely Yours memang dengan maksud menyamakan tagline pariwisata Seoul ato cuma kebetulan?