Sunday, September 23, 2012

Twivortiare

Data Buku :
Judul : Twivortiare

Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
ISBN 13 : 9789792286748

Sinopsis :
“Commitment is a funny thing, you know? It’s almost like getting a tattoo. You think and you think and you think and you think before you get one. And once you get one, it sticks to you hard and deep.”

Do busy bankers tweet? Yes, they do. Empat tahun setelah Divortiare, Alexandra membuka kembali hidupnya kepada publik melalui akun Twitter-nya @alexandrarheaw. Lembar demi lembar buku ini adalah hasil “mengintip” kehidupannya sehari-hari, pemikirannya yang witty dan sangat jujur, spontan, chaotic, dan terkadang menusuk, yang akhirnya akan bisa menjawab pertanyaan: “Dapatkah kita mencintai dan membenci seseorang sedemikian rupa pada saat bersamaan?”

Twivortiare adalah kisah klasik tentang cinta dan luka, terangkai dalam tweets, mentions, dan DM yang lahir lewat ujung-ujung jemari karakter-karakternya.


Review : 

Saya itu orang yang ndak pernah peduli sama autographed version dari buku. Bahkan termasuk CD dari penyanyi favorit juga.

Tanda tangan yang saya pedulikan hanyalah tanda tangan di dokumen-dokumen penting saya ato tanda tangan pemain bola favorit saya (aaaa....Zanettiiiiii).
Karenanya tiap kali ada pre-order buku apapun yang bertanda tangan penulisnya, saya gak pernah tertarik ikutan soalnya saya nunggu buku itu terbit dulu dan ngeliat reaksi pembacanya gimana. Bahkan walo penulisnya udah saya kenal dan bisa menebak bukunya kayak apa (seperti Kedai 1001 Mimpi-nya Vabyo misalnya).

So...kalo ampe saya bersedia ikutan pre order buku ini kemarin, bukan tanda tangannya yang menarik minat saya. Tapi karena saya penasaran (pake banget) dengan kelanjutan Alexandra dan Beno.


Siapa sih Alexandra dan Beno itu?
Mereka adalah tokoh dari novel Ika Natassa sebelumnya yang berjudul Divortiare. Di Divortiare dikisahkan kalo Alexandra dan Beno sudah bercerai. Masing-masing melanjutkan hidup dan mengejar karir dimana Beno adalah dokter bedah thoraks sukses dan Alexandra adalah bankir yang karirnya sedang menanjak. Mereka juga (ato minimal Alexandra karena Divortiare bercerita dari sudut pandangnya) berusaha move on dan mencari cinta yang baru. Divortiare ditutup dengan kisah yang "gantung" antara Alexandra dan Beno. Pembaca disuruh menebak sendiri apakah mereka kembali bersama ato tidak.

Sewaktu mengetahui kalo Ika Natassa membuat akun twitter untuk tokoh rekaannya (Alexandra), saya belum tertarik untuk follow. Baru setelah mendengar kabar kalau rangkaian tweetnya akan dibukukan, saya jadi penasaran bagaimana kelanjutan pasangan itu. Kenapa baru belakangan saya penasaran? Karena sebelumnya saya pikir, twitternya Alexandra itu masih bercerita seputar hidupnya pasca perceraian dan gak nyebut-nyebut Beno. Begitu tahu kalo ternyata hidup Alexandra saat ini melibatkan Beno, jelas saya tertarik dong. Saya kan gemes sama karakter pak dokter yang lempeng banget itu. 

Apalagi saya dapat info kalo buku ini akan bercerita tetap dalam format twitter. Jadi rasanya seperti baca timeline yang panjang. Dan per-tweet hanya dibatasi 160 karakter. Waaa...menarik dan bikin penasaran.

Kesan setelah baca?

Yah bagus sih. Not bad at all Banyak yang bisa kita pelajari dari hubungan Beno-Alex. Tentang usaha untuk mengerti satu sama lain, bahwa pernikahan itu berarti "start to feel for two people." Juga kalo cewe itu mesti bisa mandiri secara finasial (setuju banget ini).

Saya juga belajar tentang perasaan Alexandra yang bersuamikan dokter sibuk banget. Dia sempat merasa di-nomor duaka-kan dibanding pekerjaan suaminya. Jadi kepikir, apa gitu ya perasaan ibu dan tante-tante saya yang bersuamikan dokter?
Tapi sepertinya mereka gak kapok tuh punya suami dokter, soalnya mereka meng-encourage anak masing-masing buat nikah sama dokter juga. Ugh...pada gak tau aja dalem-nya dunia kedokteran itu kayak apa. #Eaaaaa #TetepCurcol

Rada kesal sih sama karakter Alexandra yang kadang too demanding dan childish. Masak gak ngerti juga kalo Beno sayang dia? Saya yang cuma tau kelakuan si Beno lewat tweet-tweet dia aja bisa ngeliat kok, masak dia gak nyadar sih?
Tapi bagusnya, Alexandra udah jauh lebih dewasa dibanding Alexandra di Divortiare.

Dan si Beno-nya juga eugh...keras kepala banget sih.
Etapi berhubung karakter saya lebih dekat ke karakter Beno, dan posisi kami cenderung sama (jadi pihak yang lebih lempeng), somehow bisa ngerti dia. #JanganCurcolLagiDehWi

Dan melalui interaksi kedua tokoh utamanya ini lah, Twivortiare mengajarkan bahwa cinta aja gak cukup untuk membentuk pernikahan, we have to work on it. Dan perbedaan yang ada itu bukan untuk dijadikan sama, tapi untuk dikompromikan.

Ada satu yang nyepet saya di buku ini sebenarnya. Scene waktu Alexandra ngeluh sakit kepala dan Beno cuma menyarankan minum aspirin. Dan si Alex sebel, menurut dia kalo cuma butuh aspirin mah dia gak bakal ngeluh ke Beno. Yang dia butuhkan tuh perhatian dan soothing word dari Beno.
Dan uhm...saya jadi kesepet :">
I mean, saya juga gitu. Kalo ada yang ngeluh sakit ke saya, naluri saya adalah melakukan anamnesis seperti umumnya dokter ke pasien untuk kemudian kasi saran obat yang cocok menurut saya. Dan ini saya lakukan pada siapa pun, dari teman biasa sampe orang dekat macam keluarga dan si "dia".

Dia pernah protes sih. Dia bilang, "Wi...diperhatiin dong. Lagi sakit nih."
Dan saya dengan bingungnya bilang : "Kan udah. Udah dikasi obat, udah dikompres, udah diambilin makan sama minum, udah diselimutin. Istirahat aja sekarang, nunggu obatnya bereaksi."
Membaca kesebalan Alexandra, saya jadi mikir, mungkin maksudnya waktu itu si dia pengen dimanjain ya? Dikelonin dan dipuk-puk gitu? Yeeee.....bilang dong :|

Tapi satu yang gak disadari Alexandra (dan mungkin orang lain), dokter itu (ato paling enggak saya) emang refleksnya gitu kalo ketemu orang sakit. Yang pertama saya pikirkan adalah apa yang bisa saya lakukan untuk memperingan sakitnya. Dan yaaahhh...the easiest way ya to suggest some medicine.
Lagian gak mungkin juga pasien saya kelonin ato saya puk-puk kan? Paling bisa ya ber-empati. Empati yang juga saya terapkan ke orang-orang dekat saya.
Saya suka lupa kalo orang dekat itu gak bisa dimasukkan dalam kategori yang sama dengan "pasien". Bahwa selain empati, saya juga boleh bersimpati sama mereka.

So thanks to Ika Natassa dan Twivortiare yang udah ingetin satu fakta yang sebenernya saya udah tau, tapi suka dilupakan :">

Pertanyaannya, kenapa buku yang begitu banyak memberi pelajaran seperti ini, dengan format unik pula  tetap saya kasi rating 4 bintang?

Jawabnya karena saya jenuh dengan banyaknya bahasa inggris yang bertebaran di buku ini.
Udah bukan banyak lagi, overdosis malah. Bisa lho sampe 2-3 lembar full bahasa inggris.
Yaaa....saya sih masih ngerti aja, tapi jadi kepikir : "Untuk jadi pembacanya Ika Natassa itu kudu bisa bahasa inggris ya? Apa syarat seperti itu udah termaktub somewhere entah dimana?"
Dan bertanya juga, pemasaran buku ini sejauh apa ya?
Saya yakin jumlah masyarakat Indonesia yang ngerti bahasa inggris lebih sedikit dibandingkan yang bisa. Warga di kota-kota di Pulau Jawa dan kota-kota besar lainnya emang banyak yang fasih berbahasa inggris, tapi mereka yang di ujung Kalimantan sana? Yang di Ambon dan sekitarnya?

Dengan overdosis-nya bahasa inggris di sini, saya sih gak yakin buku ini bisa dimengerti mereka-mereka yang di pelosok Indonesia sana.
Dan menurut saya sih sayang kalo karya yang sarat nilai positif tapi disajikan dengan ringan seperti Twivortiare ini gak bisa dinikmati mereka disana.

Jadi....kalo lain kali menulis buku, bisakah menuliskan buku yang menggunakan bahasa Indonesia secara utuh dari awal ampe akhir, mbak Ika Natassa?
Karena saya perhatikan, semua buku anda begitu kuyup dengan bahasa inggris. Apakah karena kesulitan menemukan bahasa indonesia yang tepat untuk mewakili apa yang anda maksudkan?
Padahal saya yakin untuk setiap frase yang ada di bahasa inggris, ada padanan yang tepat di versi indonesianya.
Come on, mbak. I know you can do that. I dare you! :) 



"The simplest things in life are what make us happy eventually. A warm and comfy home, being loved, and knowing that somebody can't live without you."  (p. 193)

Monday, September 17, 2012

Mencoba Sukses

Data Buku:

Judul : Mencoba Sukses
Penulis : Adhitya Mulya
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2012
ISBN : 9797805131
Rating : 2 stars out of 5


Let me tell you a story...
Untuk beberapa orang yang sudah kenal saya di luar GR, mungkin udah eneg baca cerita ini lagi X). But I still wanna tell it anyway :p.

Settingnya beberapa tahun yang lalu, saat Adhitya Mulya baru saja mengeluarkan novel pertamanya : Jomblo.
Kala itu, saya menulis review yang yah...gitu deh, sesuai kebiasaan saya lah kalo nge-review. Dan gak tau gimana, Adhitya tau tentang review itu. Dia cuma bilang : "Makasih udah sediain waktu buat baca dan review" ato something yang seperti itu.

Dan sejak itu, saya respect sama Adhitya.
Ada banyak penulis lokal yang saya sukai, sebagian besar saya hormati. Namun hanya beberapa yang saya support secara loyal dengan membeli bukunya, sekacrut apa pun buku tersebut. Dan Adhitya termasuk yang "beberapa" itu.

Sewaktu buku Mencoba Sukses ini baru terbit, saya gak buru-buru membelinya walopun emang udah diniatkan. Saya mo liat dulu reaksi pembacanya gimana. Reaksi ini saya pantau dari timeline twitternya Adhitya (iyaa...emang oksimoron kok). Dan salutnya, Adhitya meng-RT beragam reaksi tentang bukunya, baik yang puas mau pun nggak.

Menurut saya wajar kok kalo penulis hanya meng-RT komentar-komentar bagus tentang bukunya. Kan itu cara promosi mereka. Buat saya, sudah cukup kalo mereka tetap menanggapi baik segala komentar negatif yang ditujukan. Tapi meng-RT segala komen buruk yang masuk menunjukkan kebesaran hati selain juga kedewasaan.

And so...itulah alasan kenapa gak ada review kacrut kali ini walopun buku ini punya beberapa unsur kacrut :s.
(PS : Hanjiiisss...ini kenapa komen tentang penulisnya aja panjang gini?)

Novel ini bercerita tentang seikat pocong-banci-tampil yang kepengen banget bisa eksis di dunia entertainment. Bersama teman barunya, Babi Ngepet, Pocong pun berusaha menapak jalan menuju kesuksesan. Demi kesuksesan yang diidamkan, Pocong sampai berguru pada Kuntilanak, hantu tersukses di bidang entertainment, dan Suster Ngesot, salah satu hantu gagal. Pocong juga harus menghadapi persaingan sesama hantu dan pengkhianatan dari teman hantu lainnya (terdengar sangat dramatis).

Ide dasar novel ini lumayan baru sih sebenarnya. Jarang ada novel lokal yang menjadikan hantu sebagai tokoh utamanya dan bergenre komedi.
Sewaktu membaca kata pengantarnya pun, saya sudah nyengir lebar. Sayang, itulah satu-satunya saat saya bisa nyengir saat membaca buku ini.

Bab pertama yang ada di blurb novel ini sebenarnya memang lucu. Tapi saya sudah membaca bagian ini 2x sebelumnya (pertama di blognya Adhitya, kedua di Kumcer Empat Musim Cinta). Sehingga saat saya membacanya untuk yang ketiga kalinya di novel ini, yang terasa adalah bosan. Pake banget.

Humor yang ada dalam novel ini masih humor khas Adhitya yang tajam dan menyentil. Sayangnya, kali ini saya merasa terlalu banyak hal yang ingin disentil Adhitya dalam novel setipis ini. Bayangkan, dalam novel setebal 192 halaman, Adhitya menyindir tentang Facebook yang sudah mirip Tanah Abang, hobi jiplak sineas Indonesia, percobaan iseng remaja karang taruna dengan oplos minuman yang berakibat ketemu sama dewa maut, sampai ke trend sinetron masa kini yang bisa mencakup ratusan episode. Bahkan Adhitya masih sempat menyentil tentang betapa vitalnya keindahan fisik dalam dunia entertainment.

Apakah lucu? Yah awalnya sih sedikit lucu. Baca kenyinyiran orang kan emang (biasanya) lucu. Tapi setelah 100an halaman lebih, yang kerasa adalah "ugh-it's-enough".
See...nyinyir is fun, seru, lucu. But try to overdo it, and it becomes gengges (ganggu).

Lagipula topik yang disentil Adhitya berasa random. Maksud saya, pada intinya ini tentang dunia entertainment kan? Kenapa kudu bawa-bawa FB dan minuman oplosan ya?
Oke...saya ngerti Adhitya bermaksud menyelipkan pesan moral di buku ini. Apalagi novel ini diniatkan untuk kedua putranya, sebagai cara mendidik agar mereka gak takut sama segala demit dan menganggapnya hiburan (bener gak ya?).

Tapi Kang Adhit, kenapa gak fokus ke itu aja? Kenapa mesti nyentuh topik-topik lain di luar itu?
Rasanya jadi "too overwhelming" aja.
Dan pesan-pesan moral yang niatnya diselipkan dalam novel ini, karena udah kebanyakan malah bikin males. Ada semacam perasaan "yea-yea-yea...enough-about-it-will-you".

Gimana dengan humornya? Entahlah...mungkin sense of humour saya yang lagi drop, ato mungkin emang gak satu selera (etapi biasanya selera saya cocok lho sama novelnya Adhitya), ato mungkin jugaaa karena saya udah senep baca semua sentilan itu. Yang pasti, sepanjang baca novel ini, saya selalu kepikir : "Wait...tadi itu mestinya lucu ya? Gw mestinya ketawa?". And laugh never feel that rempong before.

Tapi Adhitya Mulya (dan istrinya Ninit Yunita) tetap salah dua novelis favorit saya, yang akan selalu saya tunggu kemunculan buku-buku berikutnya. So keep on writing, kang. Dan semoga buku Mencoba Sukses-nya beneran sukses.

Saturday, September 01, 2012

Kitchen

Judul asli :  キッチン Kicchin
Penulis : Banana Yoshimoto
Tahun Terbit : 2009
ISBN13 : 9789799101730
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Rating : 4 out of 5 stars


Kitchen bercerita dari sudut pandang Mikage yang baru saja kehilangan neneknya.

"Aku tak bisa tidur di tempat lain selain dapur."

Mikage Sakurai sebatang kara sejak neneknya meningal. dapur menjadi satu-satunya tempat dimana ia dikelilingi panci bekas pakai dan sisa ceceran sayur, serta ditemani sepetak langit malam berbintang di jendela.
Namun dapur keluarga Tanabe yang membuatnya jatuh cinta. Di sana selama satu musim panas ia bergulat dengan acar, udon, soba, dan tempura. Di sana pula ia temukan apa yang tak pernah dimilikinya: keluarga, bersama Yuichi Tanabe yang dingin dan Eriko Tanabe yang mempesona--perempuan transeksual yang sejatinya ayah kandung Yuichi.
Ketika Eriko meninggal, Mikage dan Yuichi menjauh dan saling terasing dalam kesedihan. Apa yang harus mereka lakukan untuk bangkit dari dukacita dan menyadari ada cinta di antara mereka?

"Sejujurnya aku ingin sekali berhenti berjalan, berhenti melanjutkan hidup. Walaupun esok, lusa, dan minggu depan pasti akan datang, tak pernah kukira hidup ini ternyata begitu berat."
-Mikage Sakurai-

Kekuatan Kitchen menurut saya terletak di karakter tokoh-tokohnya yang bisa menarik simpati.
Mikage adalah sosok yang selalu berusaha optimis walau sebenarnya dia melewati waktu yang sulit. Mikage berusaha mengatasi kehilangannya dengan memfokuskan diri pada hal kecil sementara berusaha mencari jawaban atas unanswered questions-nya. Pertanyaan seperti "Kenapa semua orang yang dekat dengannya meninggal? Bagaimana dia bertahan bila sendirian??.

Yuichi adalah sosok pendiam, yang jarang mengungkapkan perasaannya. Menarik mengikuti perkembangan chemistry Mikage dan Yuichi yang awalnya awkward hingga menjadi dekat. Dan Mikage lah satu-satunya orang yang mengerti perasaan tak terkatakan Yuichi.

Lalu ada Eriko, sosok waria sekaligus satu-satunya sosok orang tua yang dimiliki Yuichi dan Mikage. Buat saya, Eriko lah sosok yang paling menarik. Dia terlihat ceria, tapi mungkin dia-lah yang mempunyai luka terdalam. Karena pasti luka sebesar itu yang membuat seseorang mau berganti identitasnya.

"Untung dan sial adalah hal biasa, tapi mempercayakan diri kepada peruntungan semacam itu adalah sikap manja."
-Mikage Sakurai-

Oya...saya membaca buku ini sebagai bagian dari proyek baca bareng BBI. Temanya adalah '1001 books you have to read before die'. Dan dari 1001 buku itu, saya memilih Kitchen dengan alasan simpel bahwa saya suka judulnya.

Ketika sedang terluka atau sakit hati, tiap orang mempunyai terapi sendiri untuk menyembuhkannya.
Ada orang yang ketika dirundung masalah akan menenggelamkan diri dalan minuman beralkohol. Ada yang memilih menutup diri dari dunia dan menangis. Beberapa memilih pergi travelling. Dan beberapa memilih shopping atau berpesta.

Terapi saya adalah makanan
Saya memilih berpaling kepada makanan yang membuat saya nyaman (my comfort food).
Ketika ayah meninggal 8 tahun yang lalu, saya menenggelamkan diri di dapur, sibuk memasak makanan favorit beliau. Saat saya menyantap makanan favorit itulah, saatnya saya grieving dan mengenang beliau. Melalui cara itu, saya memulihkan diri. Ketika seorang yang sangat saya sayangi pergi tiga tahun lalu, dapur kembali menjadi tempat pelarian saya.

Terkadang, ada beberapa hal yang tak bisa kita kontrol dalam hidup ini. Kita tak bisa mengontrol siapa yang masuk dalam hidup pun tak mampu mencegah mereka meninggalkan kita. Kita juga terkadang harus rela kehilangan jejak dari orang yang kita pedulikan.
Di dapur, hal seperti itu tak akan terjadi. Kita selalu tahu dimana letak panci A, wajan B atau sodet C. Kita juga yang berkuasa menentukan perangkat mana yang menghuni dapur kita dan mana yang sudah bisa dipensiunkan.

"Bagaimanapun, aku ingin terus merasa bahwa suatu saat aku pasti akan mati. Jika tidak demikian, aku tidak merasa hidup. Karena itulah aku menjalani kehidupan seperti ini."
-Mikage Sakurai-

Dalam hidup, kadang kita tak tahu apa yang salah, dimana semua bermula, dan bagaimana memperbaiki masalah tersebut.
Saat memasak, kalo ada rasa masakan yang gak beres, kita tahu apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya. Tambah garam, kecilkan suhu api, atau buang lagi saja dan masak ulang yang baru X), semuanya terserah kita.

Fakta itulah yang saya suka dari dapur dan kegiatan memasaknya. Karena untuk sesaat itu, saya memegang kontrol penuh dalam hidup saya. Walau hanya diwujudkan dengan keadaan sesimpel memasak.

Ketika pertama tahu bahwa Mikage punya ketertarikan khusus pada dapur, saya kira dia akan memiliki alasan yang kurang lebih sama dengan saya (haisss....GR pisan). Ternyata saya salah. Mikage punya alasannya sendiri.
Apa alasan Mikage?
Well...itu sesuatu yang harus anda ketahui dengan baca sendiri.

"Sekarang aku bisa dengan mudah mengucapkannya; dunia ini ada bukan hanya untukku. Karena itu, rasio pertemuan dengan kejadian-kejadian buruk tetap tidak berubah. Bukan aku yang memutuskan. Jadi, sebaiknya tetaplah bersikap ceria."
-Eriko Tanabe-

Kitchen sebenarnya terdiri dari 2 cerita.
Cerita kedua berjudul Moonlight Shadow yang juga membahas tentang kehilangan and how to cope with that.
Yah menurut saya sih Moonlight Shadow sama bagusnya dengan Kitchen, walau saya masih lebih suka Kitchen karena merasa akrab dengan tokoh Mikage (haiss...personal sekali alasanmu, wi).

Mengenai terjemahannya, uhm...ada banyak sekali kata-kata yang puitis dalam bahasa jepang, yang akan sulit diterjemahkan dalam bahasa inggris atau pun Indonesia. Karena itu bahasa terjemahan di buku ini memang terasa kurang "halus".

Juga ada beberapa 'frasa' yang terlewatkan. Misalnya saja tentang bulan. Di awal cerita, saat Mikage menuju rumah Yuichi untuk tinggal bersama, dia melihat ada bulan baru. Di pertengahan cerita, ada bulan separuh. Dan saat mendekati akhir, Mikage menyadari bahwa bulan sudah hampir penuh.
Perubahan fase bulan ini secara tak langsung menggambarkan perubahan fase Mikage juga.
Tapi dalam versi terjemahan, bagian tentang bulan ini hanya sebagai latar. Sementara versi asli, bagian ini ditulis dengan puitis (eh puitis versi saya sih) sehingga kita sadar bahwa bulan bukan hanya penghias cerita.

"Semakin aku dewasa, akan semakin banyak peristiwa terjadi. Aku akan terjerembab lagi dan lagi. Berkali - kali aku akan menderita, berkali - kali pula aku akan bangkit. Aku tidak akan akan kalah. Aku tidak akan menyerah."
-Mikage Sakurai-

Aduh...susah menjelaskannya. Tapi menurut saya, versi terjemahan bahasa Indonesia ini pun sudah cukup baik. Yoshimoto wrote it in a beautifully sad and sadly beautifull way and I think the translator succeeded to give the same aura. So it should be enough.

Mengenai apakah buku ini layak masuk list 1001 buku yang harus dibaca sebelum meninggal, hmmm...saya gak tahu deh >.< . Maksud saya, iya sih bukunya bagus banget. Favorit saya malah. Tapi apa bener buku ini harus dibaca sebelum meninggal?
Mungkin iya. Supaya kita punya gambaran bagaimana kira-kira menghadapi hidup saat orang terdekat harus 'pergi'. Karena hidup sejatinya adalah serangkaian pertemuan dan perpisahan bukan? :)