Thursday, September 19, 2013

I Too Had A Love Story

Data Buku :
Judul : I Too Had A Love Story
Penulis : Ravinder Singh
Penerbit : Penguin Metro Reads
Tahun Terbit : 2012
ISBN : 9780143418764
Bahasa : Inggris
Paperback, 206 pages
Rating : 2 stars out of 5

Selama trip ke India kemarin, ada 2 buku lokal yang paling sering saya lihat penampakannya dan selalu masuk di daftar best seller tiap toko buku yang saya datangi. Buku itu adalah shiva trilogi dari Amis dan dwilogi Love Story dari Ravinder Singh ini.

Awalnya sih saya gak tertarik sama buku ini (abis covernya jelek banget #eaa), tapi setelah berkali-kali ditawarkan di tiap toko yang saya masuki (ampe lapak buku bekas pinggir jalan juga nawarin lho), dan  karena dapat harga diskon (IDR 30K untuk 2 buku) akhirnya iman saya luluh juga #halah.

Baru saat baca buku ini saya ngeh kalo ini  adalah kisah nyata (makanya baca blurb, wi!). Berkisah tentang Ravi (penulis buku ini), seorang pekerja IT yang mapan dan berasal dari keluarga baik-baik. Apa yang kurang dari hidup dia? Apalagi kalo bukan istri. Di India sana (sama kayak di Indonesia sih) adalah perkara besar bila seorang sudah mapan tapi masih single. Masalah Ravi bukan karena standarnya ketinggian (beneran, syarat dia hanyalah calon istrinya harus orang Punjab juga), tapi karena kerjaan yang sibuk gak memungkinkan dia bersosialisasi. Gimana mo dapat pacar kalo kayak gitu?

Seorang sahabat menyarankan Ravi untuk mencoba situs matrimony. Setelah beberapa kali mencoba dan gagal, bertemulah dia dengan Kushi.
Kushi tampak seperti jawaban semua doa Ravi. Dia cantik, berwawasan luas, dari keluarga baik-baik, bisa mengerti kesibukan Ravi, orang Punjab pula. Dan yang paling penting, Kushi bisa nyambung dengan apapun topik pembicaraan Ravi. They really were a match made in heaven.

Perkenalan itu dilanjutkan masa pacaran yang singkat. Ravi dan Kushi mantap untuk menikah, kedua keluarga pun merestui. Lamaran resmi sudah dilakukan, jumlah mahar disetujui, tanggal pernikahan ditetapkan, gedung sudah dipesan, undangan sudah disebar.

Namun sayangnya....semua persiapan itu tak bisa dieksekusi. Kecelakaan yang dialami Kushi membuyarkan semua rencana dan meninggalkan Ravin terpuruk dalam kenangan (bahasa gw sok mellow banget ya? Iya emang). Dan pada akhirnya, kenangan itulah yang menggerakkan Ravin menulis buku ini.
“NOT everyone in this world has the fate to cherish the fullest form of love. Some are born ,just to experience the abbreviation of it.”
Dilihat dari judulnya aja udah ketebak sih ya gimana ending buku ini. Jadi dari sejak awal memang fokus saya bukan gimana ending buku ini, tapi gimana jalan cerita yang terbentuk juga gaya bertutur penulisnya.
Dan tentang kedua hal itu, yah.....#garukpala

Soal jalan ceritanya sih...emang bener yang dibilang kebanyakan reviewer di Goodreads. Membaca interaksi Ravin dan 3 sahabatnya di awal buku rasanya kayak baca buku Five Point Someone ato One Night @ the Call Center -nya Chetan Bhagat. Itu lhoo...cerita tentang 3-4 orang anak teknik (techie) yang bersahabat, yang juga jadi inspirasi untuk film India nan femes 3 Idiots.
Dan setelah fokus cerita berpindah ke hubungan Ravin dan Kushi...yaelaahh....rasanya kayak "baca" film Bollywood banget.

Ravin dan Kushi tuh tipikal pasangan ideal ala film Bollywood deh. Keduanya sukses, dari keluarga yang sederajat dan selama pacaran juga bisa dibilang hubungannya mulus-mulus aja. Kesalahpahaman yang umum timbul pada pasangan LDR? Oho...gak ada di sini.
Belum lagi instalove yang kerasa banget. Saya bukan orang India, jadi saya gak tahu apakah di sana emang umum jatuh cinta sama orang yang cuma dikenal lewat korespondensi selama 3-4 bulan. Dan rasanya gak wajar deh bagi sebuah keluarga untuk menyetujui pilihan putra/putri mereka sebelum ketemu langsung.
Hubungan Ravin dan Kushi yang tanpa konflik ini rasanya seperti utopia buat saya.

But hey....ini kan memoar ya. Kisah nyata hidup seseorang. Dan saya pernah janji gak bakal mempertanyakan kesahihan sebuah memoar, gak peduli seabsurd apapun ceritanya.

Mengenai gaya bahasa....aduhhh....gaya bahasanya mentaah banget. Kayak baca diary remaja yang baru jatuh cinta. Belum lagi penggunaan kata yang repetitif. Entah berapa puluh kali saya baca kalo Kushi itu "beautiful", "stunning" dan Ravin "loves her so much". Juga bahwa Kushi itu "love of his life". Ampe rasanya pengen bilang : "Iyaaa...udah tahu. Loe udah ngomong gitu berkali-kali."
Ato memang buku ini bermula dari diary Ravin yang kemudian dipublish jadi buku? Sangat mungkin sih. Dan somehow saya curiga di versi diary-nya itu penulisan nama Kushi selalu disertai dengan symbol love macam diary ABG alay #ups #nyinyirdetected.
"And I'll tell you what this loneliness feels like, what it feels like to live a life without the person you loved more anyhing in the world :
Recalling something about her, you happen to laugh and in no time, sometimes even as you laugh, you taste your own tears." (page 192)
But hey, I've been in Ravin's shoes once. I do know how it feels to lose someone; and how all your dreams and hopes were gone with that said loved one in a blink of an eye.
So I could understand his mushiness and grievings. Yep I know what some people think about that. To them, it looks like he was exaggerating since he's not the only one who loose his loved one, and none of them as sentimental as he was.
Well actually almost (if not all) people who lost someone the way Ravin did got it as bad as he was.  We need a space and time to pity ourselves. To grieve for what we've lost, the space to vent all our sadness, frustation and longing. That said space also can be used to put down our happy memories about that lost one, so that we can always cherish and reminisce it when the going gets tough. Many people got that space by writing diary or talking to a bestfriend. Apparently Ravin chose to write a book about that and share it to the world.
"The day passes in an effort to laugh and to be happy by any means." "I have learnt to wear a fake smile. It's very difficult, but it makes my family feel that I am getting better." (page 195-196)
Kalo anda penyuka berat novel romance yang mellow, saya rasa anda bisa mencoba baca buku ini. Walo jelas, jangan ngarepin cerita yang "deep" ato "life changing". Nikmati aja sebagai bacaan ringan yang membawa memori hangat cinta remaja (???) dan sedikit menggugah emosi. Yep...buat saya level buku ini emang cuma menggugah, belum sampai mengharu biru apalagi mengaduk-aduk perasaan.

In short, for me "I Too Had A Love Story" isn't a bad book. It's just an okay read for me. Thus came those 2 stars as the rating.

Friday, September 13, 2013

Scene On Three #3


Happy Friday The 13th!

Jumat ini adalah waktunya Scene on Three. Sebelumnya saya postkan dulu ya rules meme ini :
  1. Tuliskan suatu adegan atau deskripsi pemandangan/manusia/situasi/kota dan sebagainya ke dalam suatu post.
  2. Jelaskan mengapa adegan atau deskripsi itu menarik, menurut versi kalian masing-masing.
  3. Jangan lupa cantumkan button Scene on Three di dalam post dengan link menuju blog Bacaan B.Zee.
  4. Masukkan link post kalian ke link tools yang ada di bawah post Bacaan B.Zee, sekalian saling mengunjungi sesama peserta Scene on Three.
  5. Meme ini diadakan setiap tanggal yang mengandung angka tiga, sesuai dengan ketersediaan tanggal di bulan tersebut (tanggal 3, 13, 23, 30, dan 31).
Di scene on three kali ini, saya pengen memasukkan potongan adegan dari novel Bola-Bola Mimpi (A Little Piece of Ground) karya Elizabeth Laird.
Laird adalah novelis yang (kebanyakan) menulis novel tentang kehidupan anak-anak yang tinggal di negara konflik atau anak jalanan. Yang saya suka dari tulisan Laird adalah para tokohnya yang masih tetap ceria walau pun tinggal di situasi yang berat. Para tokoh dalam novel Laird menyadari hidup mereka berat dan berbeda dengan anak-anak di negara bebas, namun toh mereka tidak kehilangan keriaan dan kepolosan khas anak-anak. I loovvee all her writing (at least the ones that I've read so far) because it's so touching and gave me a lot to think about.

Potongan adegan yang saya sertakan kali ini sebenarnya pernah saya tulis di review saya sebelumnya. Tapi tetap saya post lagi di sini, karena saya baru saja re-read buku ini. Boleh kan? ^_^

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Karim duduk di ujung tempat tidurnya. Kepalanya dikelilingi sekumpulan poster sepak bola yang menempel di dinding. Dahinya mengerut saat membaca selembar kertas di tangan.

Sepuluh hal terbaik yang aku inginkan dalam hidupku, tulisnya, oleh Karim Aboudi, Apartemen Jaffa 15, Ramallah, Palestina.

Di bawahnya, dengan tulisan tangan terbaik, Karim menulis:
1. Pemain sepak bola terbaik di dunia.
2. Keren, populer, ganteng, dengan tinggi minimal 1,90 meter (yang jelas lebih tinggi dari Jamal).
3. Pembebas Palestina dan pahlawan nasional.
4. Pembawa acara televisi dan aktor terkenal (yang penting terkenal).
5. Pencipta game komputer terbaik sepanjang masa.
6. Jadi diri sendiri, bebas melakukan semua yang aku suka tanpa diawasi terus-terusan oleh orangtua, kakak, dan guru-guruku.
7. Penemu formula asam (untuk menghancurkan baja yang digunakan dalam persenjataan, tank, dan helikopter milik Israel).
8. Lebih kuat dari Joni dan teman-temanku yang lain (ini tidak terlalu berlebihan).

Karim berhenti sambil menggigiti ujung bolpoinnya. Dari kejauhan, bunyi sirene ambulans meraung melintasi udara siang. Karim mendongakkan kepala, lalu memandang keluar jendela. Matanya yang besar dan hitam, menatap tajam dari bawah rambut hitam lurus yang membingkai wajahnya yang kurus kecoklatan.

Karim mulai menulis lagi.

9. Hidup. Kalaupun harus tertembak, hanya di bagian-bagian yang bisa disembuhkan, tidak di kepala atau tulang belakang, insya Allah.

10. …


Karim berhenti di nomor sepuluh. Dia memutuskan untuk membiarkannya kosong, siapa tahu ide bagus menclok di kepalanya nanti.

Karim membaca ulang tulisannya sambil duduk dan mengetok-ngetokkan ujung bolpoin ke kerah kemeja wol bergaris-garis, lalu mengambil selembar kertas baru. Kali ini, dengan lebih cepat, dia menulis:

Sepuluh hal yang tidak aku inginkan:
1. Tidak jadi pemilik toko seperti baba.
2. Tidak jadi dokter. Mama terus-terusan maksa aku jadi dokter. Padahal, mama tahu kalau aku benci darah.
3. Tidak pendek.
4. Tidak menikah dengan perempuan seperti Farah.
5. Tidak tertembak di punggung dan duduk di kursi roda seumur hidup seperti salah satu teman sekolahku.
6. Tidak jerawatan seperti Jamal.
7. Tidak dihancur-ratakan (maksudnya rumah kami) oleh tank Israel dan mengungsi ke tenda kumuh.
8. Tidak harus sekolah.
9. Tidak hidup dalam penjajahan. Tidak dicekal terus-terusan oleh tentara Israel. Tidak takut. Tidak terjebak di dalam rumah atau gedung.
10. Tidak mati.

Karim membaca ulang tulisannya. Seperti ada yang kurang. Dia yakin, ada yang terlupakan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 Tokoh utama di buku ini adalah Karim Aboudi, seorang anak Palestina biasa yang tinggal di Ramallah, yang saat itu sedang dalam pendudukan Israel.

Nantinya, diceritakan tentara Israel memberlakukan jam malam.
Saat diberlakukan jam malam itu, Karim terjebak di dalam sebuah mobil tua yang berada di "a little piece of ground" yang biasa jadi tempat dia bermain bola. Saat dia berusaha melarikan diri dari situ untuk sampai ke rumahnya, dia tertembak. Seperti yang dia harapkan, dia gak tertembak di bagian vital. Dia tertembak di bagian kaki & kakaknya Jamal berhasil membawanya ke rumah sakit. Di bawah ini adalah kutipan lain dari buku yang sama (hal. 264-265)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Pagi yang luar biasa panjang merangkak pelan. Terkadang, Karim berusaha tidur, tapi tidak pernah berhasil. Dia mencoba membuat permainan baru, merangkai cerita, dan melamun. Saat itu, dia teringat kembali pada daftar yang dibuatnya, pada segala hal yang ingin dia lakukan dalam hidupnya. Kapankah itu, beberapa minggu yang lalu? Tapi rasanya paling sedikit seperti setahun yang lalu. Karim coba mengingat-ingat apa saja yang telah ditulisnya.

Semua itu, pikirnya, semua yang pernah kuimpikan – membebaskan Palestina, menjadi pemain bola, menciptakan game computer, menjadi penemu – semuanya sampah.

Karim ingat, daftar itu belum selesai. Ada satu lagi yang perlu ditambahkan agar bisa lengkap jadi sepuluh. Sekarang dia tahu. Setelah mengalami semua kejadian ini, cuma ada satu hal yang paling dia inginkan.

Menjadi orang biasa, gumam Karim. Hidup sebagai orang biasa di negeri biasa. Di negeri Palestina yang merdeka. Tapi itu nggak bakal berhasil. Mereka nggak bakal memberikan apa yang menjadi hak kami.
________________________________________________________________________________

Dan tidakkah kamu bersyukur, tinggal di Indonesia yang merdeka? Dimana kamu bebas keluar malam, bebas merancang mimpimu setinggi langit dan bebas berpendapat?

Tidakkah kamu bersyukur hidup sebagai orang biasa di negeri biasa?

” Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS Ar-Rahmaan)