Thursday, January 30, 2014

Pulang

Judul : Pulang
Penulis : Leila S Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : 2012
Bahasa : Indonesia
ISBN : 139789799105158
Paperback. 464 Halaman
Rating : 3,5 out of 5 stars

 Kecuali masa sekolah wajib 12 tahun dulu, saya jarang tinggal lama di rumah. Bahkan sampai sekarang pun, kalo dihitung dalam setahun saya lebih banyak di luar daripada anteng di rumah. Apa yang membuat pergi begitu menarik?
Buat saya, kenikmatan terbesar pergi justru ada di saat pulang. Selalu ada perasaan 'diterima' setiap melihat kembali rumah tua yang kebanjiran itu. Dan ada rasa aman dan nyaman setiap bertemu kembali dengan kamar-bak-kapal-pecah yang selalu mampu memberikan inspirasi untuk menulis blogpost ^_^ .
Pulang adalah kegiatan yang mudah dan menenangkan bagi saya.

Bagi Dimas Suryo dan ketiga rekannya, Pulang merupakan hak eksklusif yang tak bisa didapatnya lagi. Walau pun menganut paham netral, namu bekerja di kantor surat kabar yang berhaluan kiri membuat Dimas jadi buronan pemerintah Orde Baru sejak tahun 1965. Kebetulan saja dia bisa selamat karena saat petugas pemerintah mengadakan 'pembersihan' di kantornya, Dimas sedang mengikuti konferensi wartawan beraliran kiri di Santiago bersama rekannya.

Lho? Kok bisa Dimas yang netral malah ikut konferensi aliran kiri?
Ya bisa saja. Soalnya saat itu Dimas ke Santiago demi menggantikan Hananto, sahabatnya. Hananto urung ikut konferensi karena ingin membereskan pernikahannya dengan Surti Anandari yang saat itu sedang bermasalah.
"Dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya."(Hal 198)
Setelah passportnya dicabut pemerintah Indonesia dan sempat terlunta di Peking, Dimas dan ketiga rekannya pun mendapatkan suaka di Paris. Perlahan, mereka membangun sarang di kota romantis itu. Dimas bahkan bertemu dengan Viviene, seorang gadis Perancis. Mereka menjalin kasih dan menikah hingga lahirlah Lintang Utara, putri semata wayang mereka.
Dimas dan ketiga rekan juga membuka restoran Indonesia di Paris yang mendulang sukses. Restoran itu mereka beri nama Restoran Tanah Air.
Namun Dimas tetap resah. Dalam hati dia tetap merindukan tanah airnya. Dia selalu resah ingin pulang walau tahu pintu untuknya sudah tertutup.

Tiga puluh tiga tahun kemudian, justru Lintang yang berkesempatan pulang ke Indonesia. Kepulangannya demi membuat film dokumenter tentang kesaksian mereka yang terlibas di tahun 1965. Tanpa sengaja, Lintang terseret gejolak reformasi yang saat itu sedang menggelora di negeri ini. Bersama Alam, putra Hananto, Lintang pun mencoba memetik Indonesia dari kata I.N.D.O.N.E.S.I.A, berusaha mengenal tempat pulang yang begitu dirindukan ayahnya dan mencoba memahami bagi seorang Lintang Utara kemanakah tempat pulang yang sesungguhnya.
Another winter day has come and gone away
In either Paris or Rome
And I wanna go home...Let me go home

(Michael Bubble - Home)
Saya kecele.
Saya pikir novel ini akan bergelegak dengan semangat perjuangan; akan mampu membuat emosi saya membuncah dan rasa nasionalisme saya meletup; akan mampu membuat saya berteriak "MERDEKA!" seperti yang biasa terjadi saat saya membaca sesuatu yang nasionalis (atau saat saya mendengar lagu Maju Tak Gentar). Ternyata...Pulang adalah novel roman yang mengambil setting peristiwa 1965 dan 1998.

Daripada dibilang historical fiction, saya lebih sreg bilang ini novel roman saking kuyupnya cinta di novel ini. Mulai dari kisah cinta bergelora antara Dimas dan Surti, persaingan cinta teman-teman Dimas demi memperebutkan kembang kampus, cinta pandangan pertama Vivienne pada Dimas bahkan sampai cinta menggelora Lintang dan Alam.
Oh tentu saja saya tahu isi novel ini bukan hanya itu. Tapi justru itulah kesan yang tertinggal di benak saya. Selain juga kisah cinta Dimas pada Indonesia dan seni kuliner.

Saya juga mengira novel ini akan sangat membahas kehidupan Dimas dan ketiga rekannya sebagai eksil politik. Bagaimana sulitnya menjadi orang tak bertanah air, bagaimana pahitnya berkali-kali ditolak permohonan visa untuk sekadar menengok keluarga tercinta di kampung. Bagaimana pedihnya setiap kali 17 Agustus datang dan hanya bisa merayakannya dari jauh. 
Ternyata novel ini lebih membahas pergolakan dan keresahan hati seorang Lintang.

Kesaksian para saksi 1965 yang semestinya digarap Lintang pun tidak mengambil porsi yang cukup banyak di sini. Ato mungkin banyak, tapi tertutupi kesanya oleh kegalauan Lintang akan arti hadir seorang Alam di hatinya. Seenggaknya itu yang terasa buat saya.

Mungkin saya termakan propaganda cover ya. Gambar tangan mengepal berlatarkan warna kuning kunyit pada cover yang mengingatkan saya pada bungkus sebuah minuman berenergi dengan tagline "Pasti JOSS!" membuat saya mengira buku ini juga akan terasa "Joss!". Lagi-lagi...saya kena bualan cover :)).

Tapi di luar rasa kecele itu, Pulang sungguh sebuah novel yang apik. Gaya bahasa Leila begitu rapi dan renyah. Saya salut karena beliau mampu menyuguhkan sebuah novel dengan gaya bahasa sastra yang begitu mudah dikunyah. Tak perlu ada kening yang berkerut dalam mengartikan untaian kata yang ditulis Leila. Semuanya enak dibaca, semuanya terangkai dengan indah. Bagi saya, seharusnya sastra memang seperti ini. Indah, puitis namun tetap bisa dicerna oleh semua kalangan, pun bagi mereka yang bukan penggemar sastra.

Saya juga suka pada gaya penceritaan multiple POV 1 yang dipake Leila di Pulang. Yang keren, Leila bisa menulis perpindahan POVnya dengan lancar. Mulai dari Hananto sebagai narator, dilanjutkan oleh Dimas, Vivienne, Lintang hingga Alam, semuanya berpindah dengan lancar. Pembaca tak dibuat bingung siapakah yang sedang bercerita saat itu. Salut, Mbak Leila.

Akhir kata, Pulang mengajak kita melihat kehidupan para eksil politik dan keturunannya dari sisi lain. Bahwa tak selamanya kiri itu salah dan kanan selalu benar. Bahwa sungguh tak adil bila kita tetap mendiskriminasi para anak dan cucu mantan tapol. Yang 'melawan' pemerintah kan bapaknya, kenapa toh turunannya masih didiskriminasi? Dan Pulang juga mengajak kita untuk selalu buka mata dan telinga pada kebenaran yang ada di dua sisi.

Tiga setengah bintang untuk Pulang.


==============================================

Buku ini adalah pemberian Santa saya yang baik hati. Terima kasih ya untuk bukunya yang seru banget :).
Sekarang saatnya menebak identitas santa saya. Seperti riddle yang tertera di sini, ada 3 hal yang bisa saya simpulkan dari riddle :
1. Santa saya anggota Bajay Jabodetabek
2. Santa pernah saya kasi dan pinjemin buku
3. Santa knows me well

Hmm....saya kenal baik semua anggota Bajay Jabo. Udah 2 dari 3 riddle terjawab (heuh?). Untuk point ke-2, saya sebenarnya punya 4 suspect. Tapi dari hasil memecahkan riddle teman-teman lain, saya bisa mencoret 3 suspect tersebut.
Lagipula di antara teman-teman bajay jabo lain, cuma si 'terduga-santa' yang belum saya temukan siapa X-nya.

Ditambah si 'terduga-santa' pernah bilang di salah satu chat bajay Jabo bahwa riddle darinya sangat mudah. Cuma tinggal cocokkin tulisan tangan saja, jangan terpengaruh isinya. Daan....akhir bulan Desember lalu, kebetulan si 'terduga-santa' mengirimkan saya paket dan tulisannya mirip dengan yang di riddle.

Jadi dengan rasa percaya diri yang membuncah (tsah!) maka saya pun menebak bahwa santa saya adalah :


Bener gak, mbak Yuska? :)
Kalo salah, saya minta maaf sama santa saya ya. Tolong tunjukkan dirimu dong.

Wednesday, January 29, 2014

To Buy Or Not To Buy An E-reader

source

Sudah pasti, saya lebih mencintai buku cetakan daripada buku elektronik. Tapi toh, saya gak bisa mengelak dari kepraktisan yang ditawarkan sebuah buku elektronik.

Sebagai pembaca yang moody dan cepat bosan, saya selalu membawa minimal 2 buku di tas. Ya abis gimanaaa.....saya kan bosenan. Kalo cuma bawa 1 buku doang, saya merasa insecure gitu lho (gaya loee, wi). Khawatir saya jenuh pada 1 buku yang saya bawa lalu jadi mati gaya. Apalagi kalo pergi ke luar kota. Wuih....pergi 3 hari ke Bandung aja saya bisa bawa 5 buku di tas. Iya sih....lebay. Kayak di Bandung gak ada toko buku aja ya (_ _"). Gimana kalo saya bepergian ke luar negeri lebih dari seminggu?
Eugh....saya butuh 1 koper khusus buat buku >.< Sementara baju malah cuma dibawa secukupnya aja.

Tentu saja hal ini merepotkan dan tas jadi berat, Jenderal!
Belum lagi buku yang dibawa-bawa ini beresiko lecek. Sementara saya kan paling risih liat buku kesayangan saya lecek. So...yang ada nih ya, tiap malam saya keluarin buku yang ada di tas, saya 'rapiin' lipatan buku yang lecek. Kalo perlu malah saya setrika. Udah saya bilang kan kalo saya ini ribet?

Makanya, ketika pertama kenalan dengan teknologi buku elektronik, rasanya horeeee banget.
Akhirnya saya bisa bawa banyak buku tanpa khawatir lecek dan berat lagi.
Apalagi, buku elektronik itu bisa dibaca dengan device apapun, termasuk dengan handphone dan tablet. Gak perlu pusing deh beli E-reader ^_^

Awalnya sih begitu pikir saya...
Tapi lama kelamaan berasa rese juga baca pake handphone (layarnya kekecilan dan hp jadi cepat lowbat) dan tablet. Terutama tablet.
Pertama sih enak aja ya baca ebook lewat tab. Tapi CTS saya jadi gampang kambuh gegara si tablet ini lumayan berat juga. Selain itu, perhatian saya mudah terdistraksi berhubung bisa sekalian online di tablet. Sekali lagi...udah dibilang kan kalo saya ribet? (iyeee...wi. Sekali lagi, bisa dapat piring cantik nih).

Cuma....ya masih ragu-ragu juga beli e-reader. Takut mubadzir aja.
Jadinya kemarin iseng ikutan kuis berjudul "Saya Ingin Beli E-reader" di LiveOlive. Dari hasil skor sih, saya dapat nilai 60. Yang artinya sih saya boleh aja beli e-reader, tapi hati-hati memilih merk supaya sesuai kebutuhan dan bisa dipake dalam jangka waktu lama.
Nah lho...yang bagus apa ya?

Menurut saya sih, yang saya butuhkan itu e-reader yang:
1. ringan
2. bisa dipake membaca dalam gelap (karena saya suka membaca saat lampu sudah dimatikan)
3. gak perlu bisa browsing. Asal bisa dipake online untuk beli ebook sudah cukup kok.

Ada yang bisa sarankan saya e-reader yang cocok? Makasi sebelumnya :).
(ps : nanya ini doang preambulenya panjang ya :D)

Wednesday, January 22, 2014

Ketika Si Book Hoarder Berkontemplasi...

Saya tipe orang yang gak suka bikin resolusi apa-apa karena gak mau terbeban >.< , saya juga penganut setia paham 'hidup-itu-mengalir-saja'. Termasuk dalam hal mengatur dana :|
Pokoknya selama saya ngerasa kebutuhan bulanan tercukupi dan sudah menyisihkan dana untuk tabungan dan kondisi darurat, ya berarti sudah beres. Sisa pemasukan bisa saya pake semaunya.

Makanya waktu awal 2014 kemarin banyak teman blogger buku yang beresolusi untuk menetapkan budget belanja buku bulanan atau yang bersumpah untuk tutup mata akan diskonan toko buku (yang lebih gampang ditemukan daripada jodoh #halah), saya mah anteng aja.

Sampai secara kebetulan, ada teman yang retweet artikel berjudul Cek Kondisi Keuangan Anda Dalam 5 Menit dari LiveOlive ini. Berhubung kepo, saya pun mencoba cek dan....terpana baca hasilnya.

See...point pertama artikel itu adalah menyarankan untuk mengetahui suku bunga deposito bank. Yang ngenes adalah...saya gak punya deposito berjangka ( ._.)/|suram|.

Lalu point kedua untuk mengetahui cakupan asuransi. Okeh...yang ini lumayan bikin tenang karena saya punya (walopun setelah ngecek polis, cakupannya standar aja). Aeehh..... *merenung di bawah shower*
Point ketiga dianjurkan untuk menulis tujuan jangka pendek (dalam 1 tahun) sampai jangka panjang (dalam 3 tahun).
I was like : "Happpaahh?" o_O7
Manusia mengalir kayak saya ini mana punya tujuan jangka pendek maupun panjang? Masa' iya dalam tiga kolom tujuan itu saya cuma tulis "Hidup-Bahagia-Meninggal-Masuk-Surga"? *elo kira ini tulisan di belakang truk, wi?*

Dan point ini makin terasa menusuk karena disertakan pula quote dari Steve Sebold (penulis buku How Rich People Think) yang berbunyi "Orang kaya memiliki tujuan perusahaan dengan tenggat waktu do or die".
Sa...saya....jarang (versi halus dari gak pernah) ngasi deadline ke diri sendiri. Masa' ini artinya saya gak bisa jadi orang kaya? (T^T) #nyalainkompor #bikinpudingbaygon

Setelah puding baygonnya udah matang, saya pun lanjut baca point ke-4 yang menyarankan untuk mengelola pengeluaran satu jenis pada satu waktu. Jadi misalnya suka belanja buku, makan di resto, beli mobil baru (ya kali aja ada yang hobinya beli mobil baru tiap bulan),  nah diwajibkan untuk memilih satu jenis pengeluaran aja per bulan dan tetapkan budgetnya.
Ini mirip dengan resolusi yang dibikin teman-teman saya sih. Cuma kalo di sini harus lebih strict lagi mengikuti budget itu (supaya tujuan jangka pendeknya tercapai).

Kayaknya....dari 4 point di atas, yang terakhir ini yang paling bisa cepat saya adaptasikan ya (dan setelah berkontemplasi lama #aeh, saya bisa merumuskan target jangka pendek.Hohohoho.... *ketawa bangga*).
Jadi sepertinya saya udah mesti menetapkan budget belanja buku nih.
Pertanyaannya : sebaiknya berapa ya? 
Soalnya asal milih satu angka sih gampang, tapi begitu ketemu iblis bernama diskonan, langsung buyar itu budget. Jadi saya pengen menetapkan target yang realistis aja.
Teman-teman, kalian pada netapin budget berapa sih untuk belanja buku? *nanya serius*

Kalo saya, untuk bulan Januari dan Februari saya bakal berpegang di niat : "gak bakal nambah timbunan baru sampe minimal 10 timbunan buku lama sudah terbaca".Tapi saya sadar sih, niat ini akan gampang goyah saat ketemu Pesta Buku ato kalo ke Bras Basah. Makanya sebelum salah satu terjadi, saya kudu banget netapin budget. Bagi-bagi infonya dong kalian netapin budgetnya berapa?

Baidewei...point kelima dari artikel itu mengingatkan agar gak lupa menghitung berkat yang sudah didapat sebelum ini. Alhamdulillah, banyak yang bisa saya syukuri. Fakta bahwa saya masih hidup dan tetap sehat dan mampu ngeblog aja sudah saya syukurin banget kok.
Dan ada satu lagi yang saya syukuri : menemukan artikel di atas dan dapat pencerahan soal pentingnya berencana demi terwujudnya impian jadi juragan gorengan sehat nan sukses serta hidup-bahagia-meninggal-masuk-surga (Minta amin-nya doong).
So...saya memutuskan untuk batal mengonsumsi puding baygon ini. Ternyata masih ada harapan untuk saya. Tapi sayang, gak ada harapan untuk tikus di rumah. *umpanin puding tertjintah ke tikus*